Ini bukan kiamat. Ini cuma sedikit gagal.
Beberapa hari lalu itu pembagian rapor semester ketiga saya di SMK. Dan nilai di rapor saya menduduki peringkat ke 25 dari 31 siswa. Dua puluh lima.
Saya tidak terlalu kaget. Nilai-nilai tugas dan ujian saya emang lebih rendah dari temen-temen lain. Dan saya sadar kalau peringkat ini buruk. Dua puluh lima, ya ampun! Kalau kelas saya dibagi jadi tiga kasta; super, biasa, dan payah, maka saya ada di kasta payah.
Menyedihkan, memalukan, mengerikan, tapi nggak mengecewakan. Saya nggak mau kecewa terhadap apa yang udah saya usahakan. Saya mengisi jawaban di seluruh lembar ujian sesiapnya saya. Saya mengerjakan tugas semampu saya. Dan inilah hasilnya, kesiapan dan kemampuan saya, peringkat 25! Urutan ke 25 adalah bagaimana diri saya, sebab hasil rapor itu murni. Saya senang bisa tau seberapa pintar sebenarnya; menduduki kasta payah. Haha. Apakah saya kecewa karena ini? Tadinya ya, sedikit, tapi sekarang nggak lagi. Saya nggak suka merasa kecewa, terlebih kecewa pada diri sendiri. Orang-orang harus menerima bagaimana adanya diri mereka dengan lapang dada kan?
Jadi, saya hapus rasa kecewa itu dan menerima. Dua puluh lima. Peringkat yang menyedihkan, jadi saya coba introspeksi.
Selama ini, saya melakukan persiapan yang biasa aja untuk ujian. Baru saat ujian, saya mengeluarkan kemampuan optimal saya. Ya ampun, bukankah itu terbalik? Seharusnya saya mengoptimalkan persiapan. Lepas itu, saya udah bisa lancar mengerjakan ujian. Itu kesalahan utama saya.
Kesalahan berikutnya, saya cuek. Saat lelah selepas mengerjakan tugas, saya enggan mengoreksinya. Jadi, dengan naif dan bodoh saya kumpulkan tugas yang entah benar entah salah itu.
Dan saya juga nggak aktif di kelas. Saya cenderung pasif menanggapi materi guru. Padahal kalau saya sedikit lebih aktif, mungkin beberapa guru bakal berbaik hati ngasih tambahan nilai.
Tapi sedikit-banyak saya berusaha membela diri. Ini bukan sepenuhnya kesalahan saya. Beberapa mata ujian menuntut jawaban yang sama persis dengan paragraf-paragraf di buku untuk bagian esai. Esai, harus sama persis dengan kata-kata buku? Ya ampun, bukankah seharusnya esai menuntut opini dan ide masing-masing?
Nilai belum tentu representasi murni dari kemampuan kan. Keduanya nggak selalu berbanding lurus.
Entah saya baik atau buruk dalam menghapal, tapi saya tidak mau menghapal hal-hal yang tidak berguna. Saya udah paham materi yang dimaksud dan saya mampu menjelaskannya. Jadi, alih-alih menghapal materi yang tertulis di buku, saya memahami materi yang dimaksud dan menjawab esai dengan bahasa saya sendiri. Saya tau kalau dengan begitu jawaban saya bakal disalahkan, tapi saya bersikeras. Saya menolak keras menjawab esai dengan kata-kata di buku.
Saya tidak mau terbiasa menghapal buku dan terpaku pada pemikiran orang lain. Saya punya otak yang masih cukup baik untuk digunakan. Kalau saya terbiasa terpaku pada buku, saya akan semakin canggung berekspresi dan mengembangkan ide. Jadi, yang saya lakukan semester ini adalah: menjawab semua soal esai dengan bagaimana saya beropini, dengan bahasa dan kata-kata saya. Saya tau sebagian besar jawaban akan disalahkan karena nggak sesuai dengan kata-kata buku. Tapi sedikit ‘berontak’ seperti itu menurut saya perlu. Menulis esai itu melatih kemampuan berpikir. Saya bukan orang dengan pola pikir brilian, pola pikir saya masih standar dan kadang jadul. Nah, mana mungkin pola pikir saya yang udah standar dan jadul ini makin terkekang dengan pemikiran di buku-buku pelajaran?
Kalo jadi peringkat satu haruslah menghapal buku alih-alih memahaminya, bukan masalah sama sekali kalo gua dapet peringkat terakhir.
Meskipun begitu, ada beberapa guru yang menghargai siswa yang menjawab esai dengan bahasa yang berbeda dengan buku. Saya menyukai sekaligus mengagumi guru seperti ini; mereka punya mental ‘guru sejati’ dan rela bersusah-payah membenarkan atau menyalahkan opini berbeda di esai tiap siswa.
Tapi meski begitu, bukan tanggung jawab mereka saya dapet peringkat 25. Itu salah dia *nunjuk lurus ke cermin*. Yah, ada begitu banyak salah saya, begitu banyak yang harus saya perbaiki semester depan.
Ini adalah kegagalan, dan saya harus menerimanya. Kita tidak boleh menolak kegagalan seperti kita tidak boleh menolak kemenangan kan?
Saya emang nggak kecewa sama sekali karena diri saya bisa sepayah ini. Ada waktu untuk perbaikan kan. Tapi meski begitu, saya kecewa karena saya lihat orangtua saya kecewa.
Oh, begitu mahal harga yang harus saya bayar. Dan begitu banyak perbaikan yang harus saya lakukan di semester depan.
Hal itu mungkin malah bisa jadi penyemangatmu utk lebih giat lagi belajar. ayo semangat 😀
yang penting tetap semangat..
Iya… seorang psikolog bilang, yang terpenting itu bukan jadi juara kelas, tapi nikmatin sekolahnya, jadi kita bisa belajar seoptimal kemampuan kita.
Terimakasih dukungannya ^^
Semester baru bisa ditingkatkan lagi belajarnya. SEMANGATT! :D.
Iyaaaa \(^^)/ makasih dukungannya Kak Nella 😀
Sbar prita,kita sama gak dapat rangking. .
Hahaha. .
Haha iya, ini jadi pelajaran juga. Salam kenal, makasih udah berkunjung. Blognya menarik, saya suka artikel-artikelnya ^^