Putri, Gadis Kelaparan, dan Remah Kue

Putri, Gadis Kelaparan, dan Remah Kue

Beberapa bait setelah buncahan bahagia dan sesal yang menyatu.

This_delicious_cake_by_sypri (deviantart)

Ada tiga tokoh di istana itu. Seorang putri, pelayannya, dan sepotong kue besar.

Sang putri adalah yang penting. Cantik, manis, pintar, lincah, penuh semangat, ringan tangan, mandiri, dan dicintai semua orang. Nyaris sempurna, begitu mata orang-orang menilai. Termasuk seorang gadis kelaparan. Ya, kelaparan, sebab gadis itu mengakrabi rasa lapar di hari-harinya. Bukan karena ia tak punya makanan, bukan. Hanya saja ia tidak suka makanan di sekitarnya. Ia ingin makanan istana. Ia ingin makanan yang biasa dimakan sang putri.

Tapi ia tau, kastanya tak memungkinkan ia menyentuh makanan istana. Jadi, selama bertahun ia hanya menunggu, merasa lapar karena ia selalu makan sesedikit mungkin–asal memberinya energi untuk beraktivitas–dan berharap suatu saat perutnya bisa kenyang dengan makanan yang benar-benar berkelas seperti makanan istana.

Harap yang terlalu tinggi untuk seorang gadis sederhana, tapi siapapun bebas berharap setinggi apapun.

Si gadis kelaparan itu tetap kelaparan selama waktu yang lama. Ia menunggu dan hanya makan sedikit, menolak jajanan pasar dan kios-kios kue. Ia ingin makanan istana. Maka ia menunggu hari, dimana takdir bisa membawanya masuk istana. Dia menunggu, berharap, dan mencari cara.

Hingga akhirnya, dengan ambisi mencicipi makanan istana, ia bisa melakukannya: diterima menjadi dayang sang putri di istana. Dia mendampingi sang putri dalam hari-harinya. Menjadi teman cerita, rekan diskusi, bekerja dan belajar bersama, saling memberi saran. Tapi sang putri tetaplah seorang putri dan sang gadis kelaparan tetaplah seorang dayang. Sedekat dan seakrab apapun mereka, makanan putri adalah makanan putri, bukan makanan yang sama dengan makanan dayang.

Sang gadis kelaparan tidak tau kapan lagi ia bisa makan makanan sang putri. Tapi dia tetap mempertahankan kedudukannya sebagai dayang yang selalu menemani sang putri. Bukan lagi karena makanan, meski ia masih berharap. Tapi karena hubungannya yang dekat dengan sang putri. Bersahabat dengan sang putri tentu lebih berharga daripada mencicip makanan istana.

Tahun berlalu, dan usia mendewasa. Gadis kelaparan itu masih menjadi dayang dan masih bersahabat dengan sang putri.

Lalu, satu sore itu datang. Gadis kelaparan itu melewati ruang jamuan dan menemukan bahwa si juru masak menghidangkan makanan istana agak berantakan. Adalah kue, kue yang senantiasa dikonsumsi sang putri setiap hari, yang paling spesial dari maknaan istana. Kue yang lembut, gurih, manis, dan cantik. Yang kata sang putri adalah yang terlezat yang pernah ia cicipi. Kue itu tidak dihidangkan rapi, reremahannya berserakan di tepi piring, dan potongan kuenya tidak serapi biasanya.

Nekat, sang gadis mengumpulkan remahannya dan mencicipinya. Menikmati tiap butirnya, mensyukuri rasa renyahnya.

Ia lupa kalau tindakannya adalah mencuri makanan yang bukan jatahnya. Ia hanya ingat, itu remah-remah yang tidak diperlukan sang putri, dan ia hanya ingat betapa ia ingin merasakan lezatnya kue itu.

Ia lupa kalau ia mencuri. Dari seorang putri, sang sahabat yang sangat dihormatinya.

Ia mencuri.

Tentang sirobok sore.

Kasih tanggapan dong!

9 pemikiran pada “Putri, Gadis Kelaparan, dan Remah Kue”

    • Mungkin karena gadis itu sangat kepengen, jadinya dia nggak bisa nahan godaan.

      Wah, saya nggak pernah baca karyanya Emha Ainun Najib… Saya jadul nih, bacaannya sastra ringan semua

%d blogger menyukai ini: