Sambungan dari Seorang Ateis dan Muslim: Bagian 1
“Saya tertarik mendengarkan alasan Anda, kalau Anda bisa menjabarkan,” Savhia tersenyum. Aku membalasnya.
“Pastikan logika Anda ada di tempatnya dan otak Anda tidak berada di dengkul. Saya akan menjelaskan dengan senang hati.”
“Sesuai syarat, dan telinga saya terpasang dengan baik.”
Aku menarik napas. Hm, bagaimana memulainya?
“Ketuhanan adalah hal terlalu luas dan absurd. Tapi kita harus meyakini Tuhan itu ada. Karena dunia mustahil berjalan seperti ini tanpa Tuhan.”
“Saya masih ragu,” ungkap Savhia. “Saya bisa berpikir lebih cerdas dari Anda hanya dengan menggunakan air, saraf, dan darah yang ada di otak. Tanpa Random Access Memory atau motherboard seperti di komputer. Kalau saya saja bisa berpikir tanpa motherboard, kenapa dunia tidak bisa berjalan tanpa Motherworld?”
“Karena Tuhanlah yang memberi Anda kekuatan untuk berpikir, sederhana saja,” sanggahku.
“Apa bukti dari perkataan Anda?” tuntut Savhia.
“Kata-kata di kitab suci saya bilang begitu.”
“Nah. Itu dia. Itu kitab suci Anda. Mana saya tau kitab itu benar-benar suci”—dia mencibir, menyindirku—“ataukah itu sekedar tulisan penyair abad delapan.”
“Betul sekali,” kali ini aku menyambut kalimatnya. “Itu kenapa tadi saya mengatakan kalau saya harus memastikan ini agama paling benar sebelum saya sungguh-sungguh meyakininya.”
“Kalau begitu, tolong jelaskan. Saya akan senang, eh, menikmati bualan itu,” dia menertawakan kekurang-ajarannya sendiri.
“Kita lihat saja nanti, setelah kita selesai berargumen, kita akan tau siapa yang membual,” aku menatapnya tegas. Dia menjawab dengan anggukan setuju, kali ini tidak menertawakan, tapi ekspresinya siap mendengarkan.
Lalu aku bicara.
“Pertama, saya meyakini Tuhan, pusat kekuatan semesta yang memiliki kendali tak terbatas. Saya yakin soal keberadaan Tuhan, sangat. Dan setelah itu saya juga harus mencari tau, Tuhan mana yang harus saya yakini? Ada begitu banyak agama dengan konsepnya masing-masing tentang Tuhan. Jadi saya berpikir, apakah Tuhan seperti yang para politeis bilang, bahwa Tuhan itu lebih dari satu; ataukah seperti yang para monoteis bilang, bahwa Tuhan adalah satu? Hanya ada satu matahari di langit, dan hanya ada satu presiden di negri ini. Mereka para monoteislah yang benar.”
“Maaf,” sela Savhia, ”Matahari adalah lebih dari satu. Matahari yang membuat terik kota ini hanyalah satu dari banyak bintang-bintang lain. Matahari memang pusat adalah pusat dari solar system—tata surya, satu-satunya bintang di sana. Tapi bukan satu-satunya bintang di alam semesta. Ada banyak yang lain, bertahun-tahun cahaya jauhnya dari bumi. Anda bisa melihat sendiri kehadiran mereka di langit malam yang cerah.”
“Setuju,” sambutku, “Tapi maaf, saya membicarakan ruang lingkup yang lebih kecil. Saya membicarakan tentang bumi, tentang satu-satunya bintang yang menyumbang energi besar kepada bumi. Jadi, mari kita anggap interupsi Anda tadi adalah sampah.”
“Silakan,” Savhia berkata dengan manis. “Dan semua kepercayaan Anda adalah bualan,” tambahnya.
“Terserah,” tanggapku tak peduli. “Boleh saya lanjutkan?”
“Telinga saya ada untuk mendengarkan Anda.”
“Negara, sebesar apapun negara itu, hanya butuh satu presiden. Organisasi, sehebat apapun organisasi itu, hanya butuh satu pemimpin. Anda mungkin mendengar ada jabatan Wakil I, Wakil II, Sekertaris I, Sekertaris II, dan yang semacam itu. Tapi tak pernah ada Ketua I dan Ketua II. Ketua hanya ada satu. Bukankah begitu juga dengan dunia? Hanya butuh satu Tuhan untuk mencipta dan segala macamnya.”
“Apakah Dia tidak akan merasa repot?”
“Tuhan harus bisa melakukan semuanya, kan. Penguasa tunggal semesta, pusat dari segalanya. Jadi, agama yang paling benar adalah agama monoteis. Agama yang meyakini satu Tuhan.”
Masih ada kelanjutannya Kak. Nanti bakal saya lanjutin kok.
Tulisan ini sebelumnya pernah saya post di blog saya sebelumnya, yang sekarang udah hangus. Shafiyyah itu tokoh utama dari satu kerangka karangan saya–sebuah memoar fiktif–dan selama setahun lebih ini saya senang menulis cuplikan-cuplikan memoar itu–tidak secara urut. Nah, cuplikan ini adalah cerita ketika Shafiyyah berdiskusi tentang teisme dengan seorang bule yang namanya mirip; Savhia. Saya pikir ini mungkin tema terberat yang pernah saya tulis, berhubung ini teisme dan selama ini tulisan saya selalu yang ringan-ringan aja.
tuhan disamain dengan organisasi & perusahaan.. 😀
Hehe… perumpamaan Mbak, belum bisa bikin yang lebih cocok…
😀
Nggak bilang kalau sudah dilanjutkan, Kak … ^^
Savhianya pinter bikin alasan … Shafiyyah-nya pinter ngomong … (menurutku!)
Hem… insya Allah minggu minggu ini aku lanjutin lagi 😀