Serial dialog semi-fiksi antara Prita Permatadinata dan bayangannya di cermin yang bisa menjelma menjadi individu sendiri, dan individu itu menamakan dirinya Pramita Pradani Atte; Mita. Di sini pertama kalinya Mita memunculkan diri di cermin Prita.
Aku duduk melamun di tepi tempat tidur. Pandanganku lurus ke arah cermin. Setengah berharap Mita si makhluk cermin itu akan muncul. Aku sedang bosan dan suasana hatiku tidak menyenangkan. Aku ingin mengobrol, aku ingin teman diskusi. Ayolah cermin, mana Mita?
“Prita.”
Sebuah suara memanggilku, suara yang sama persis dengan suaraku. Mita! Benar saja, bayanganku di cermin sedang melambai riang padaku padahal aku sedang duduk memeluk lutut di tempat tidur.
“Mita!” seruku riang. “Ya ampun, aku senang melihatmu muncul di cermin lagi!”
“Wah, wah, ternyata kau menyukaiku. Ah, bertambah lagi satu penggemarku.” Ia biacara dengan nada menyebalkan khas dirinya.
“Cih,” cibirku, “Aku tidak menyukaimu. Aku cuma sedang bosan, dan wajar saja kalau orang yang bosan merasa senang bila ada teman yang muncul!”
“Dasar cewek manja,” keluhnya. “Saat kau bosan, kau malah menunggu teman, bukannya mencari mereka!”
“Aku senang dicari daripada mencari. Itu membuatku merasa penting kan, meskipun sebenarnya mungkin tidak,” aku mengangkat bahu. Mita tertawa.
“Dasar sok penting! Kau merasa dirimu patut dicari ya? Ya ampun, makhluk mana yang cukup bodoh untuk mau mencarimu?”
Aku berpura-pura berpikir sebentar. “Tentu saja kau. Kau yang selalu muncul tiba-tiba tanpa kupanggil,” aku membalikkan kalimatnya. Sejak pertama kali ia muncul di cerminku, mengenalkan diri dan menghinaku, dia sudah tiga kali—empat kali dengan kali ini—muncul kembali di cerminku dan berinteraksi denganku, tapi sayang sekali, aku belum sempat menuliskan kesemuanya di sini.
“Aku tidak muncul tiba-tiba. Aku muncul karena kau berharap aku muncul. Selain itu, aku muncul karena kurasa pasti menyenangkan mengganggu Prita yang sedang bosan.”
“Terserah katamu. Sekarang, aku mau tanya. Selain menghinaku, maukah kamu mendengarkan ceritaku? Aku…. Aku sedang bingung tentang apa yang harus kulakukan… Aku mungkin cukup terbuka untuk menceritakan keseharianku, tapi tidak terhadap cerita tentang pikiran dan perasaanku.”
“Oh,” tanggapnya. “Jadi kau, seorang Prita Permatadinata, cewek 16 tahun yang berkepala batu dan bermuka tembok ini menyatakan bahwa ia ingin curhat pribadi dengan seorang Pramita Pradani Atte, makhluk cermin yang imajiner, maya, dan fiktif, yang diakui lebih cerdas dari Prita. Begitu?”
Menghindari meningkatnya frekuensi bawel sok penting ala Mita, aku hanya mengangguk. Lalu dia terbahak. Aku selalu risih mendengar tawa perempuan yang terbahak-bahak seperti dia. Terlebih kalau Mita yang melakukannya… itu membuatku merasa sangat mual, karena dia benar-benar mirip diriku. Bagaimana aku bisa tahan melihat diriku melakukan apa yang kubenci untuk kulakukan?
“Ya, sekarang aku beberapa derajat lebih tinggi dibanding dirimu.” Nadanya senang karena merasa berkuasa.
“Ya, ya, terserah,” gumamku. Aku malas mendebatnya. Itu hal yang tidak berguna, mendebat makhluk yang sering meremehkan orang lain. Dia tampak sedikit kesal karena aku tidak membantahnya.
“Nah, sekarang kau mau cerita apa? Telingaku terpasang baik, aku akan jadi pendengarmu.”
Sebenarnya aku setengah ragu kalau Mita adalah teman curhat yang baik. Takut dengan kecenderungannya menyanggah apapun yang kukatakan. Tapi.. setidaknya teman curhat seperti ini tidak mungkin bicara ke orang lain kan?
“Hei, ayo cerita,” perintah Mita, yang melihatku diam.
“Emmm…”
“Kenapa? Nggak jadi cerita? Kau takut aku akan membocorkannya ke orang lain? Oh, ya ampun, apakah kau berpikir aku mau muncul di cermin orang-orang, sehingga mereka kaget mendapat bayangan Prita di cermin mereka? Begitu? Ya ampun, aku bukan orang bodoh sepertimu, jadi aku mustahil melakukan hal idiot seperti itu. Atau kau takut aku tidak memihak ceritamu? Kau takut saat kau berpendapat A aku malah berpendapat A negasi? Kau takut kalau apapun yang kaukatakan akan kutanggapi dengan cibiran?”
“Aku hanya… yah, mungkin kau benar. Kurasa aku takut kau menentang apa yang akan kukatakan. Mana enak curhat lalu ditentang.”
Mita tertawa. “Dasar cengeng,” kudengar ia bergumam samar. “Jadi… maksudmu, tujuanmu curhat hanya untuk mendapat anggukan dari sang pendengar, begitu? Ya ampun…” Mita menepuk dahinya dengan gaya berlebihan. “Kalau begitu, itu artinya kau tidak menghargai teman curhatmu—tidak mau menerima opininya—dan juga akan berdampak buruk untukmu; kamu tidak dapat masukan dan itu juga bisa membuatmu jadi keras kepala. Yah, meskipun sebenarnya jauh sebelum ini kau sudah keras kepala. Tentu saja, kau adalah orang spesial, Prita. Di dalam kepala setiap manusia selalu ada otak. Tapi kau berbeda. Di dalam kepalamu batu. Haha.”
Itu lelucon yang sama sekali tidak lucu. Atau mungkin, aku menganggapnya begitu karena itu adalah hinaan bagiku. “Kepalaku memang batu kan, Mit,” aku berujar datar, berusaha tidak terlihat tersinggung atau marah. “Kau sudah mengatakannya sebelumnya.”
“Hm yah, kau benar. Aku sudah mengatakannya tadi. Tapi tekankanlah, apa yang kukatakan adalah benar.”
“Ya, jadi kita sama-sama benar.”
Kami diam beberapa saat.
“Mit, aku masih ragu. Aku sedang bete sekarang, dan ada masalah yang harus kupikirkan—masalah yang tadi mau kuceritakan padamu—jadi kurasa aku akan makin bete kalau kau malah mendebatku lagi. Kau seharusnya tau, tidak ada seorangpun dari teman-temanku yang menyanggah atau menentang opini seseorang yang curhat sama dia.”
“Kukira kau makhluk paling bodoh di dunia, ternyata teman-temanmu juga sama.”
“Tidaka juga, sebenarnya mereka lebih pintar dariku, sedikit-banyak.”
“Sudah kusangka,” cibirnya. Tapi kurasa dia merasa tidak puas, karena sedari tadi aku hanya mengiyakan perkataannya alih-alih mendebatnya. Mungkin dia jenis orang yang senang mencari perbedaan dan masalah, jenis orang yang suka membanding-bandingkan dan meremehkan orang lain. Selain itu, dia terkesan tidak suka dituruti; sepertinya ia suka dibandah.
“Nah, sekarang, apa kau jadi bercerita? Ayolah, telingaku terpasang baik. Jangan takut dibantah.”
Aku berpikir. Aku tidak suka menceritakan sesuatu yang pribadi pada siapapun dala keadaan bete sementara pendapatku akan dibantah. Tapi bukan berarti hal yang tidak kusuka adalah hal yang salah kan. Mungkin saja Mita benar, seperti sebelum-sebelumnya.
“Oke. Tapi jangan katakan siapapun, aku tidak suka kalau banyak orang mengetahuinya,” pintaku. Aku sungguh-sungguh.
“Tentu saja. Memang menurutmu kepada siapa lagi aku bisa bicara selain kamu?”
Aku tersenyum. “Baik. Mm… sebenarnya…”
“Apa?” desaknya penasaran.
“Sebenarnya… aku… ya ampun. Aku bingung banget. Ini menggangguku, tapi aku nggak tau gimana cara mengatasinya. Aku jadi gelisah banget, dan oh, bisa jadi ini faktor turunnya nilai-nialiku…”
“Tenang, Prita, semua tidak akan seburuk itu. Memang apa yang terjadi? Sebut saja, aku akan mendengarkannya.”
“Entahlah, ya ampun, pantas saja teman-teman bilang beberapa hari terakhir ini aku berubah… dan suasana hatiku jarang riang lagi…”
“Kenapa, Prita? Seseorang menerormu? Kamu bermasalah dengan guru? Kamu dituduh mencuri atau semacamnya? Atau apa?”
“Tidak,” jawabku. Lalu aku berbisik pelan, mendekat ke cermin. “Jangan beritahu siapapun….”
“Tentu saja, Prita,” sahut Mita.
“Ada tiga bisul sekaligus di pantatku… aku bingung banget…”
Silakan lihat dialog Prita dengan Mita si makhluk cermin lainnya di sini!
Hha.. ada2 ja ni 😀 sumpah gokil abis 😀 😀