Sepuluh detik yang disempatkan Pak Hatta Rajasa di malam itu, sepuluh detik yang sangat amat berharga bagi saya. Sepuluh detik yang berkesan bukan hanya karena saya mengidolakan beliau, tapi lebih karena apa yang saya pelajari dari rentang pendek itu.
Pertama, maaf kalau postingan saya udah basi banget. Karena ini yah, udah terjadi lama banget, September tahun lalu. Hingga hari ini, saya baru sempet nulis tentang hal yang (menurut saya) mengesankan ini. Kedua, maaf kalau temanya agak norak. Maklum, saya pasif, jarang berpartisipasi dalam lomba, jadi sekalinya ikut, langsung norak bikin postingan panjang.
Mei tahun lalu, saya baca pengumuman ini, dan tertarik. Pengumuman ini tentang kompetisi menulis esai tentang ekonomi (ekonomi, ini minat saya!) gratis sama sekali, syaratnya gak susah, dan pengiriman cukup lewat email. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Harapan Rakyat yang mengatasnamakan nama Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia: Hatta Rajasa. Dan hadiahnya, wow banget. Jujur, ini yang paling bikin saya ngiler dan semangat ikut lomba ini. Yah, meskipun saya nyadar juga, kalo hadiahnya se-wow ini, pasti yang ikutan juga banyak, dan tulisan saya yang palingan mutu kelas teri bakal saingan sama pelajar lain yang mungkin tulisannya mutu kakap.
Meski begitu, gak ada salahnya nyoba partisipasi. Mumpung gratis. Meski nanti kalah, setidaknya saya bisa belajar nulis esai dengan ikut lomba ini. Jadi, saya mulai mempersiapkan esai saya; menentukan tema, menyusun konsep esai, merenungi gimana cara menulis yang baik, membaca referensi, menulis dan menyalin data, dan merampungkannya. Sekedar kilasan, saya baru ngirim emailnya 15 menit sebelum deadline. Yah, ini satu kebiasaan buruk saya: jam karet.
Saat Juli datang (bulan dimana mereka menjanjikan pengumuman pemenang), ada tulisan di website resminya Pak Hatta Rajasa kalau pengumuman lomba esai ini ditunda hingga dua bulan ke depan, tepatnya tanggal 12 September. Mereka bilang mereka kebanjiran naskah dan semua naskah itu susah diseleksi karena nyaris sama bagusnya. Di kemudian hari, saya tau kalau naskah yang masuk tiga kali lipat melebihi target mereka.
Dan saya nungguin banget kedatangan 12 September. Alasan utama: pengen tau siapa aja dan seperti apa tulisan mereka yang segitu hebat menangin hadiah belasan juta rupiah. Dan sambil diam-diam berharap banget banget banget bisa jadi salah satu yang dapet belasan juta itu.
Hingga akhirnya 12 September pun datang. Saya datang ke Malam Anugrah lomba itu di Taman Ismail Marzuki, setelah sebelumnya ngemis ke panitia via email, minta dikirimin undangan. Haaa aku sayang panitia-panita itu, karena dua hari setelah minta mereka ngirim tiga lembar undangannya ke rumahkuuu<3
*euforia orang norak*.
Jadi, karena saya antusias banget ama acara ini, nggak peduli kalo saya baru pulang PKL dari kantor 17.30 dan harus berangkat lagi ke TIM (Taman Ismail Marzuki) sebelum jam 19.00. Saya hadir di sana berdua doang sama Ayah—padahal saya punya tiga lembar undangan (jadinya satu undangan lagi mubazir)
Saya menikmati acaranya. Acara itu sampe malem banget, jam 10 malem lewat. Ada hidangan makan malam, tarian kolaborasi tradisional-modern, nyanyi Indonesia Raya rame-rame, pidato dari beberapa orang—salah satunya Pak Hatta Rajasa sendiri—lalu yang terakhir, pengumuman pemenang lomba nulis ini. Judul tulisan mereka mengagumkan. Jadi makin penasaran ngeliat isinya. Mari kita lihat kayak gimana wajah para pemenang itu, yang sayang sekali muka saya gak ikut nampang di sana *ngarep banget lu Prit*.
Ini dia:
Dan selepas acara, saya minta Pak Hatta Rajasa buat foto bareng. Dan beliau mau.
Saya seneng banget dapet foto ini. Maklumin kenorakan saya, temen-temen WP. Tapi ‘intensitas kespesialan’ foto ini nggak tinggi-tinggi amat. Meskipun saya foto sama orang yang sangat dikagumi ama saya sendiri & ratusan (atau bahkan ribuan?) orang lain, tapi foto ini nggak spesial karena cara dapetinnya begitu mudah. Karena saya tinggal minta dan Pak Hatta yang ramah itu mempersilakan, lalu kami foto. Nggak kayak foto sebelumnya tuh. Itu baru foto yang spesial. Di panggung bersama Pak Hatta, megang penghargaan. Mereka juga difoto pas lagi salaman dikasih selamet. Nah itu baru spesial. Kalo foto begini doang—ah, saya kecewa dan agak menyesal karenanya—semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah seperti saya; tinggal izin foto sama Pak Hatta langsung, dan beliau akan bersedia.
Sepuluh detik yang diluangkan Pak Hatta Rajasa buat foto bareng saya itu, berharga banget buat saya…. Lebih daripada karena saya mengidolakan beliau lalu bangga mendapatkan foto berdua. Tapi karena betapa mengagumkannya menjadi tokoh publik seperti Pak Hatta; yang bahkan ‘jelata-jelata’ seperti saya pun bisa merasa senang hanya dengan bertemu beliau. Betapa mengagumkannya bisa jadi orang yang dipercaya untuk mengoordinasi ekonomi negri yang punya peluang pasar besar ini. Betapa mengagumkannya bisa dihormati banyak orang bahkan di kali pertama berjumpa. Betapa mengagumkannya punya pemikiran-pemikiran skala nasional yang diaplikasikan pada dan untuk kehidupan ratusan jiwa di negri ini. Ya ampun, betapa mengagumkannya (setidaknya bagi saya) jadi seorang Hatta Rajasa…
Lebih dari itu, sepuluh detik itu membuat saya merasa kalau di saya adalah orang yang paling payah di ruangan itu. Saya ingat penampilan para penari saat mereka menyuguhkan tarian kolaborasi itu. Saya memikirkan persiapannya. Mereka pasti sibuk menghapal gerakan, menahan pegal karena bibir yang terus tersenyum sepanjang penampilan, menjaga konsentrasi agar gerakan mereka bisa sinkron dengan musik, kegerahan karena kostum dan tata rias, dan ‘penderitaan’ lain yang saya kira mereka rasakan. Betapa mereka adalah para pekerja keras.
Saya memperhatikan para panitia juga. Mereka memakai pakaian seragam, tersenyum pada para undangan, ramah dan energik. Saya memikirkan bagaimana mereka dari lembaga Pusat Studi Harapan Rakyat mengurus lomba ini; memanggil para juri, menggalang dana, mengundang Pak Hatta Rajasa dan menteri lainnya, menyiapkan souvenir untuk para undangan, menyewa tempat, mengoordinir isi acara, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang bikin acara ini sempurna. Mereka hebat karena mereka, entah berapa puluh orang, ada di balik layar di acara yang sempurna ini (saya katakan sempurna karena semuanya diatur tepat) bisa bekerja sama dengan kompak. Yah, kalo kita suka sama sebuah film, kita kan kagum sama tim kreatif dibalik produksi film itu kan alih-alih kagum ama karakter imajinatifnya. Para panitia pasti kerja keras buat selalu komunikatif dan kompak satu sama lain—hal yang sulit diterapkan pada saya sendiri. Mereka bekerja untuk acara yang bakal dinikmatin oleh orang lain. Ah, dimana pun, para panitia selalu berjasa besar kan.
Dan yang terakhir, para pemenang. Mendengar judul-judul esai mereka dan mendengarkan pidato singkat mereka, wow. Mereka seusia saya atau beberapa tahun lebih tua, tapi mereka punya pemikiran yang luas dan jauh, wow, saya kagum banget. Abdurrahman, si juara pertama, menulis tentang studentpreneur, bagaimana sekolah sebaiknya menerapkan jiwa wirausaha kepada para murid. Ada juga seorang siswa madrasah yang menulis tentang kewirausahaan ala Islam. Wow. Saya pengen banget baca esai-esai mereka; pengen tau seberapa hebatnya mereka bisa menangin beasiswa belasan juta rupiah dari Pak Menko Perekonomian.
Ya ampun, saya jadi ngerasa paling payah di ruangan itu. Karena saya nulis esai itu dengan tidak sungguh-sungguh, buru-buru, dan nggak baca banyak referensi, alih-alih seharusnya berusaha sebaik mungkin buat nulis esai itu. Karena kepribadian saya nggak sehebat orang-orang di sini; para pengisi acara, pemenang lomba, panitia, menteri dan orang penting lainnya yang hadir di sini. Pasti mereka punya kepribadian yang ‘wow’. Sedang saya? Alih-alih makin rajin, saya malah makin males nyentuh buku. Yah, sepuluh detik yang diluangkan Pak Hatta itu berarti banyak banget buat saya; memotivasi saya biar gak jadi makhluk paling payah lagi kalo ngumpul sama orang-orang macam mereka. Yah, sesuai misi acara ini: ngebangkitin optimisme.
Saya kalah, sama seperti seribu peserta lainnya yang ikut lomba ini. Tapi meskipun saya kalah, saya dapet banyak hal: pengalaman, pengetahuan, motivasi, dan kenang-kenangan.
Pengalaman. Dengan ikut lomba ini, saya jadi belajar gimana caranya nulis esai. Meskipun saya nggak tau apakah esai saya sesuai dengan tata esai yang baik dan benar, tapi setidaknya saya bisa menulis sesuai dengan kriteria yang diminta panitia. Seneng deh bisa belajar ngerangkum data dari berbagai sumber referensi jadi esai 8000 karakter. Seneng deh bisa jalan-jalan malem-malem ke sebuah acara yang ada menterinya meskipun masih capek pulang dari PKL. Seneng deh bisa denger ceramah menteri (sekaligus capres 2014, haha), bisa liat penampilan para pengisi acaranya. Dan terutama, seneng karena ini satu dari sedikit kesempatan pergi berdua doang sama Ayah. Biasanya kalo pergi kemana-mana kami rame-rame; 6 anggota keluarga. Sekarang jadi tujuh, setelah Februari lalu si bungsu lahir.
Pengetahuan. Dengan nulis esai 8000 karakter tentang kewirausahaan ini, saya butuh sumber referensi 3 kali lebih banyak dari yang saya kira. Saya baca biografi tokoh pengusaha-pengusaha sukses nasional dan internasional, minimal baca 2 artikel tentang satu tokoh. Selain itu, saya belajar tentang demografi nusantara saat nyusurin tiap halaman di situs BPS. Juga dengan baca banyak artikel penunjang, saya kena hawa-hawa para pengusaha itu, betapa harus ada ‘pedih’ dulu sebelum mereka jadi se-kinclong sekarang. Oh ya, saya juga dikirimi bingkisan oleh para panitia yang baik itu, isinya buku biografi Pak Hatta dan kartu lebaran. Lumayan, nambah populasi rak buku.
Selain itu, acara Malam Anugrah ini juga bikin saya tau dimana dan gimana Taman Ismail Marzuki sekaligus Institut Kesenian Jakarta—almamaternya Kak Ekka, temen MP—dan menghapus ke-katro-an saya karena selama 16 taun hidup di kota ini, baru kali ini saya tau gimana dan dimana pusat seni Taman Ismail Marzuki itu yang dibangun buat ngenang almarhum sang seniman Betawi. Sepulang dari acara itu, mereka masih cukup baik hati untuk ngasih saya souvenir, yang isinya buku catatan, pulpen, dan yang saya suka: Majalah Forum. Emang sih majalahnya udah agak kadaluarsa; terbitan Agustus sedangkan saya dapet majalah itu baru September. Telat sebulan, gak masalah. Meski itu majalah politik dan politik bukan minat saya, tapi lumayan buat dibaca-baca. Yah, meski saya banyak gak ngerti ama artikelnya. Lagipula, saya juga udah lama gak punya majalah baru.
Juga motivasi. Tujuan lomba ini adalah ngebangkitin ideologi-ideologi para pemuda. Saya termotivasi karena selama nulis, bacaan saya seputar biografi para pengusaha super. Karena dari lomba ini juga saya tau makin banyak tentang Pak Hatta. Mengetahui lebih jauh tentang seorang menteri, menelusuri sepak terjangnya, sedikit-banyak pasti kena hawa-hawa semangatnya beliau. Dan di Malam Anugrahnya, seperti yang udah saya jabarin di atas, saya ngerasa paling payah di sana, dan bikin saya jadi terdorong agar jadi sama mengagumkannya sama mereka. Dan dari segala berkah yang saya dapet dari lomba ini, saya jadi termotivasi biar makin sering ikutan lomba. Hah, sekarang sih ngomongnya gitu, tapi entah apakah besok-besok udah bisa nepis rasa males buat ikutan lomba. Yang penting partisipasi, selama menang dan kalah dapet berkah.
Yang terakhir, kenang-kenangan. Kenang-kenangan paling utama tentu aja foto ama Pak Hatta Rajasa. Kedua, karena ini satu dari sedikit kesempatan jalan-jalan berdua Ayah—seperti yang udah saya bilang sebelumnya. Terus juga bingkisan yang dikirim panitia pra-pengumuman dan yang mereka berikan sebagai souvenir di Malam Anugrahnya, itu kenang-kenangan banget deh. Belum lagi dokumentasi lain, kayak video penampilan para penari kolaborasi, grup vokal, dan sebagainya, termasuk foto saya si ama Menpan, tapi sayang sekali, kecuali yang udah saya upload di sini, dokumentasi itu semua udah lenyap gara-gara harddisk kemaren rusak, data ilang semua. Proyek-proyek multimedia gua… hiks.
Makasih buat malam Kamisnya Bapak Hatta Rajasa, para menteri yang hadir, Bapak Zaenal A. Budiyono selaku direktur lembaga, para juri, dan keseluruhan anggota Pusat Studi Harapan Rakyat, dan semuanya juga.
Saya emang nggak menang, tapi malam itu, saya dapet begitu banyak hal; jauhlebih banyak dari yang saya perkirakan kalau saja jadi pemenang. Karena memandang rejeki kan gak cuma dari perolehan duit.
Terimakasih banyak panitia. Terimakasih banyak juga untuk para bintang tamu. Terimakasih juga untuk para menteri yang udah dateng. Dan terimakasih banyak untuk semuanya, bener-bener makasih banyak…
Saya nggak menang aja senengnya udah sebegini. Dapet ilmu, barang-barang bagus, dan kesempatan… Seperti yang tertulis di An Najm; “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ragukan?”
Prita beruntung bisa foto bareng dg pak Menteri ;).
Iya alhamdulillah banget dapet kesempatan itu. Semoga kapan-kapan bisa jadi mentrinya sekalian~
Kakak juga beruntung bisa ngerasain hidup di negri yang budaya dan geografinya jauh beda sama tempat Kakak tumbuh. Pasti bisa belajar banyak banget 😀
gantian saya yang ngiler
Saya lebih ngiler pas tau Kakak di FEUI…
*ngasih sapu tangan buat ngelap iler