Sambungan dari Seorang Ateis dan Muslim: Bagian 2
“Negara, sebesar apapun negara itu, hanya butuh satu presiden. Organisasi, sehebat apapun organisasi itu, hanya butuh satu pemimpin. Anda mungkin mendengar ada jabatan Wakil I, Wakil II, Sekertaris I, Sekertaris II, dan yang semacam itu. Tapi tak pernah ada Ketua I dan Ketua II. Ketua hanya ada satu. Bukankah begitu juga dengan dunia? Hanya butuh satu Tuhan untuk mencipta dan segala macamnya.”“Apakah Dia tidak akan merasa repot?”
“Tuhan harus bisa melakukan semuanya, kan. Penguasa tunggal semesta, pusat dari segalanya. Jadi, agama yang paling benar adalah agama monoteis. Agama yang meyakini satu Tuhan.”
“Agama monoteis ada banyak. Apa Anda meyakini Islam hanya karena Anda terlahir begitu?”
“Dulu memang begitu,” Shafiyyah tersenyum, “Tapi sekarang saya sudah tidak sekonyol dan sekolot itu. Saya juga membaca kitab-kitab lain.”
“Dan Anda keras kepala sekali karena masih menganggap kitab agama Anda lah yang paling benar.”
“Karena memang faktanya begitu. Sejak dulu saya tidak pernah memungkiri fakta, sepedih apapun itu. Untuk ama membuat karangan fiktif kalau itu hanya membuai kita sesaat? Jatuh setelah dibuai lebih sakit daripada jatuh setelah dilukai.”
Aku merasa kata-kataku sudah agak melenceng dari topik, jadi aku membuat jeda dengan menghela napas. “Logikakanlah. Kitab adalah komunikasi antara Tuhan dan manusia, benar?”
Savhia mengangguk. “Dan Al-Quran ditulis dalam bahasa Arab. Jadi Al-Quran adalah kitab yang salah. Huruf hijaiyah itu rumit, keriting dan terlalu eksotis. Kalau Tuhan ingin memudahkan komunikasi, seharusnya Dia menggunakan huruf latin. Lebih dari setengah penduduk dunia menulis dan membaca menggunakan huruf latin, kendati dalam bahasa yang berbeda-beda.”
Aku tersenyum. “Justru karena kesederhanaan huruf latin itulah Tuhan tidak memakainya. Sudah saya katakan tadi, letakkan logika Anda pada tempatnya.”
“Dan seharusnya Anda juga begitu,” sindirnya sinis.
“Sudah kok,” tanggapku. “Nah, sekarang saya akan menjabarkan. Kesederhanaan bentuk dan bunyi huruf latin itu mempertinggi frekuensi kesalahan. Huruf E memiliki dua cara membaca. Huruf B dan D agak sulit dibedakan pelafalannya. Bentuk V dan U nyaris sama. Kalau Tuhan mengomunikasikan firmanNya dengan abjad sesederhana huruf latin, maka akan timbul banyak kesalah-pahaman karena konsonan dan bentuk huruf yang banyak tertukar. Itulah kenapa Tuhan mengomunikasikannya dalam huruf hijaiyah dan bahasa Arab yang begitu eksotis dan terkesan rumit. Lagipula, belajar bahasa Arab tidak sesulit yang Anda perkirakan. Berikan pilihan pada seorang balita antara belajar huruf latin dan hijaiyah. Mayoritas mereka akan memilih hijaiyah. Karena bentuknya dan cara membacanya yang berbeda-beda membuat abjad itu tampak berwarna dan mudah dihapal.”
“Saya telan semua bualan itu. Silakan lanjutkan, kalau tidak saya ingin bertanya banyak.”
Aku berpikir sebentar. “Tuhan menurunkan kitab cuma sekali, begitu kan?”
“Setidaknya beberapa agama mengiyakannya,” tanggap Shavia.
“Kalau begitu, mari kita logikakan. Kitab cuma turun sekali, berarti kitab itu tidak boleh ada masa kadaluarsanya. Kitab itu harus berlaku selamanya, itu syarat mutlak yang harus dipenuhi Tuhan kan.”
“Tidak, kecuali dia ingin mempermainkan kita,” tawa Savhia.
“Tentu saja,” aku ikut tertawa. “Tapi sekarang kita membicarakan Tuhan yang menguasai semesta, yang kendali atas dirimupun ada di tangannya. Bukan seperti membicarakan seorang kakak berusia tujuh tahun yang sering menjahili dan mempermainkan adiknya yang balita.”
Masih ada kelanjutannya, lagi. Nanti bakal saya lanjutin kok.
Tulisan ini sebelumnya pernah saya post di blog saya sebelumnya, yang sekarang udah hangus. Shafiyyah itu tokoh utama dari satu kerangka karangan saya–sebuah memoar fiktif–dan selama setahun lebih ini saya senang menulis cuplikan-cuplikan memoar itu–tidak secara urut. Nah, cuplikan ini adalah cerita ketika Shafiyyah berdiskusi tentang teisme dengan seorang bule yang namanya mirip; Savhia. Saya pikir ini mungkin tema terberat yang pernah saya tulis, berhubung ini teisme dan selama ini tulisan saya selalu yang ringan-ringan aja.
^_^ Percakapan yang menarik dari dua sudut pandang yang berbeda. Saya ingat, dulu pernah ada teman, seorang Ateis yang bahkan pernah meng-islam-kan seorang pendeta kristen setelah mereka melakukan dialog keagamaan yang panjang, tapi sayangnya dia sendiri tetap mempertahankan kepercayaan ‘ateisme’ nya.
postingan ini sungguh menarik dan bagian yang mengupas ‘mengapa Al Qur’an diturunkan dalam TULISAN ARAB bukan LATIN juga sangat menarik’. ^_^ Lagi pula, memang tidak ada satu kitab pun yang berasal dari wahyu yang diturunkan dalam tulisan Latin kan?
Baik Taurat, Zabur maupun Injil 🙂
Iya juga ya…. baru sadar saya, kalo gak ada kitab asli berbahasa Latin. Bagian itu juga muncul tiba-tiba… saya juga bersyukur mendadak dapet ide kayak gitu. Terima kasih udah blogwalk ke sini
bersambung …:(
ditunggu kelanjutannya. di perpustakaan sering ada buku dialog islam vs kristen atau vs atheis. kamu bisa mengutip dari sana buat nambah posting. jadi kalo tertunda nggak jauh-jauh amat.
Perpustakaan mana? Waah lagi pengen baca buku-buku tentang teisme nih, tapi belum sempet. Kemaren nemu Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong di toko buku deket sekolah, tapi pas ke sana lagi mau numpang baca stoknya udah kosong 🙁 mungkin itu tandanya harus lebih modal lagi, referensi harus beli *malah curcol
Wah, telat nih! Hehehe. Semangat terus ya kak! Penasaran ending-nya 😉
Waww.. Ditunggu kelanjutannya 🙂
Segera dilanjutkan Kaaak ^^
Di blog yg lama, sepertinya saya belum pernah membaca bagian ini, dan saya ingat lho kalo dulu pernah nagih kelanjutan bagian II, … nah sekarang saya juga menunggu kelanjutan bagian ini 🙂
Insya Allah liburan ini saya selesaikan kelanjutannya Pak. Lama banget nih nulis ini, gak sempet-sempet mulu