Ilalang memanggil Mentari. Melambai. Tersenyum. Dan, ia berkata dengan binar matanya; “Ke sini!”
Mentari, yang hangat, terang, periang, dan mengagumkan, membalas senyum ilalang kecil. Lalu kembali bersinar. Lebih terang, terang, dan terang. Terus, terus, terus, hingga malam bangkit, ia tenggelam di kaki langit.
Ilalang kesepian. Sendiri dan kedinginan, ia susun asa untuk bisa memanggil Mentari lagi, pada pagi selanjutnya, pada saat sang Mentari terbit lagi. Seperti ribuan pagi yang lalu, yang ia lalui dengan menikmati cahaya Mentari.
Mentari memang membalas senyumnya, selalu. Tapi eksistensinya, begitu absurd bagi ilalang. Tak terputus, sekaligus tak teraih.
Tak terputus, sekaligus tak teraih.
Mengingat September lalu, dan segala sirobok lalu.
Sumber gambar: wordpress
ya … begitu sahabat. kita berhubungan baik tapi tidak bisa selamanya bersama. bukankah kita memiliki kehidupan masing-masing yang berbeda? kalau kita sama, kita akan selalu bersama sampai akhir masa.