Satu Murid Sembilan Guru

Saya pernah menghadiri kelas dengan satu murid yang diajar sembilan guru sekaligus. Padahal, tidak seorangpun dari guru-guru itu lebih tua daripada sang murid. Saya menghadiri kelas seperti itu, selama kurang lebih delapan bulan terakhir ini. Satu murid, sembilan guru. Dan–agak memalukan–saya berperan sebagai sang murid. Saya, kelahiran 1996, diajar oleh sembilan guru yang lahir setelah 2000. Kesembilan guru, yang masing-masingnya mengajarkan saya begitu banyak.

1. Pak Guru Dudin

Dia mengajarkan saya soal wibawa dan sikap tenang–saya sebut keduanya adalah ciri khasnya. Dia menyukai pelajaran sains; matematika dan IPA. Saya ingat alasannya kenapa dia menyukai jenis pelajaran yang ‘senantiasa-gua-remed’ bagi kebanyakan orang (misal:  matematika, fisika), terutama saya, hehe. Dia berkata: “Matematika itu  susah emang, nah di situ nyenenginnya.” Kalimat ini sangat memotivasi saya, pelajar cengeng yang terlalu mudah angkat tangan.

Kesusahan bukan alasan untuk lepas tangan, begitu binar mata Pak Guru Dudin memberitahu saya, tapi kesusahan itu latihan untuk tangan kita bisa mengurai simpu-simpul rumit. Pak Guru Dudin tidak bohong. Ia tidak pernah terlihat lelah saat belajar, tidak pernah menyerah atas soal-soal. Saya rasa, di saat saya seusianya, saya lebih pintar daripada Pak Guru Dudin–di matematika. Tapi kepintaran tidak berarti apa-apa, kalau pemilik kepintaran itu kerjanya hanya melepas tangan dan angkat tangan. Ya, saya dulu cengeng sekali, alih-alih mencari tahu solusi mengerjakan soal, saya malah meninggalkannya dan dalam hati memaki guru matematika yang menerangkan materi dengan tidak jelas.

Terima kasih untuk pelajaran Pak Guru Dudin selama 8 bulan ini. Semoga Allah senantiasa medekap erat Pak Guru Dudin dengan berkahNya. Aamiin.

2. Pak Guru Gugum

Dia calon hafiz besar, saya yakin. Atau seorang matematikawan. Hapalan Qur’annya memang masih kalah sedikit dari saya, tapi kesempurnaan tajwidnya, saya takjub. Apalagi dia pernah mengulang hapalannya dengan marathon, puluhan surat pendek sekaligus, urut tanpa ada yang tertinggal atau terbolak-balik, dan tanpa jeda. Dia benar-benar menghapalnya di luar kepala. Dengannya, saya belajar untuk tingkatkan kualitas hapalan, tidak hanya kuantitasnya saja.

Dan antusiasme Pak Guru Gugum, dalam segala pelajaran kami (terutama Matematika, favoritnya) dan nafsu membacanya; ia melahap buku macam apapun di depan hidungnya. Pak Guru Gugum juga sempat membuatku jatuh cinta (meski sesaat) pada Matematika–pelajaran yang tidak pernah saya jadikan sahabta sebelumnya. Selain itu, Pak Guru Gugum termasuk satu dari dua guru saya di sini paling sering mengingatkan dan mengoreksi kesalahan dan kecerobohan yang saya lakukan. Saya sangat bersyukur bisa mengenal Pak Guru Gugum dan belajar banyak dari Pak Guru. Saya tidak akan melupakan binar antusias di wajah Pak Guru Gugum; dari binar itu saya belajar banyak tentang semangat dan motivasi.

Terima kasih untuk pelajaran Pak Guru Gugum selama 8 bulan ini. Saya berdoa agar Allah senantiasa meningkatkan ilmu dan derajat Pak guru Gugum. Aamiin.

3. Pak Guru Zayin

Aristokrat yang bersahaja, tiga kata yang mewakili kesan saya terhadapnya. Dia memang guru saya yang paling tampan, tapi bukan karena itu saya katakan dia aristokrat. Sikap sopan dan etika-etikanyalah yang menjadikan dia aristokrat di mata saya. Antusiasme dan hasratnya ia ungkap dengan berkelas: cukup, tidak berlebihan, tapi berkesan. Tidak seperti umumnya orang-orang mengungkap antusiasme dan hasrat mereka: dikatakan berkali-kali, bertanya dan meminta dengan mendesak. Pak Guru Zayin juga tidak pernah tidak antusias, ia dikaruniai semangat abadi.

Terima kasih untuk peajaran Pak Guru Zayin selama 8 bulan ini. Semoga Allah senantiasa menguatkan kaki-kaki Pak Guru Zayin untuk menuju segala kebaikan. Aamiin.

4. Pak Guru Aziz

Seorang seniman kutu buku. Sama seperti Pak Guru Gugum, dia melahap buku apapun di depan hidungnya. Seniman, ya, menghiasi judul-judul bab dengan huruf berlekuk dan berornamen, menggambari margin kertas dengan sketsa-sketsa. Saya juga sering melakukan itu dulu, tapi dewasa ini,  sketsa-sketsa margin kertas itu tergantikan oleh hitung-hitungan matematika atau fisika. Saya belajar tentang kepatuhan dan ketekunan darinya. Pak Guru Aziz tidak patah semangat menyelesaikan soal-soal; tidak seperti saya yang cepat lelah dan cepat menyerah menghadapi soal, kalau tidak tau ya langsung googling atau tinggalkan begitu saja. Tidak melakukan observasi dulu seperti Pak Guru Aziz.

Terima kasih untuk pelajaran Pak Guru Aziz selama 8 bulan ini. Semoga Allah senantiasa memberkahi kreativitas Pak Guru Aziz dengan ide-ide cemelang dan peluang tak berbatas. Aamiin.

5. Bu Guru Laras

Satu-satunya Bu Guru di sini; kesembilan lainnya Pak Guru. Dengan dialah saya belajar paling banyak, mungkin karena saya memang paling sering belajar dengan Bu Guru Laras, dan sering juga kami belajar berdua saja, tanpa Pak Guru lainnya. Dia mengajarkan saya untuk tak pernah merasa cukup belajar, untuk selalu ingin tau. Dunia ini begitu luas untuk dilihat, begitu banyak hal yang perlu ditanyakan. Kami berdiskusi banyak hal, nyaris segala hal. Tentang antropologi, budaya, mtologi, zoologi, botani, matematika, sastra,  seni, anatomi, segala macam… Membangunkan rasa ingin tahu saya untuk membuka jendela lebih besar lagi.

Tidak hanya itu, Bu Guru Laras mengajarkan saya untuk teliti. Saya memang orang yang ceroboh, ceroboh sekali. Berkai-kali Bu Guru Laras mengingatkan saya saat salah menghitung atau menulis. Berkali-kali ia mengoreksi kesalahan dalam kata-kata saya. Dan dia adalah orang yang kritis, cepat tanggap terhadap keadaan, dan inisiatif. Mungkin karena hanya kami berdua yang perempuan, jadi kami lebih dekat, dan dialah guru yang paling saya sayang.  Dan kami juga menghabiskan waktu bersama lebih banyak, dengan kegiatan yang lebih variatif. Tidak hanya belajar, tapi juga menggambar, bermain, curhat. Dan karena dia satu-satunya guru perempuan saya, terlihat jelas perbedaan kalau ia lebih peka dan peduli dibanding para guru lainnya yang memang laki-laki. Ya Allah, semoga suatu hari saya bisa membuatnya bangga.

Terima kasih untuk pelajaran Bu Guru Laras selama 8 bulan ini. Semoga Allah senantiasa mendekap Bu Guru Laras dengan kelapangan peluang baik dan kesempatan untuk belajar lebih dan lebih. Aamiin.

Masih ada empat guru lagi yang belum saya ceritakan. Bukan karena mereka tidak berkesan seperti kelima guru yang namanya saya tulis di sini, bukan. Saya cukup payah dalam mengenal orang, jadi sayang sekali, dari sembilan guru, yang saya pikir baru saya kenal baik hanya lima orang itu. Empat guru lainnya, karena memang frekuensi bertemu kami jarang, saya belum mengenal baik mereka. Tapi semuanya, Pak Guru Thorik, Pak Guru Bule, Pak Guru Syaiful, dan Pak Guru Dani, adalah guru-guru yang baik dan hebat. Semoga kesibukan semester 6 saya nanti tidak membuat saya semakin jarang bertemu kalian. Semoga juga saya bisa belajar dari kalian lebih banyak lagi. Aamiin.

Nama kalian tidak berhenti hadir dalam doa-doaku.

Kasih tanggapan dong!

12 pemikiran pada “Satu Murid Sembilan Guru”

    • Oh iya lupa 😀 makasih udah ngingetin.
      Mereka itu.. aku juga bingung nyebutnya apa. Bukan ade, tapi dibilang teman juga kurang cocok.. pokoknya sekitar itulah. Terima kasih udah komen ^^

    • Belajar segalanya Kak, hehe

      Yah, niat awalnya dateng ke mereka mau bantuin mereka belajar, tapi kayaknya malah saya yang belajar lebih banyak…

%d blogger menyukai ini: