Saya tidak pernah menyadari sebelumnya kalau ternyata saya ini kaya. Saya pikir saya cuma anak biasa. Tapi ternyata saya kaya, sangat kaya. Oh Tuhan, segala puji bagiMu. Saya merasa begitu kaya setelah sebelumnya saya kira saya tidak punya apa-apa; kemungkinan saya bahkan lebih kaya dari Ir. Ciputra atau Sandi Uno. Dan sekarang, saya sendiri bertanya-tanya, siapakah yang lebih kaya dari saya?
Mungkin ada, meski sebenarnya saya kaya sekali. Sekarang, saya jabarkan seberapa kaya saya, apa saja yang saya punya, sehingga mungkin Kakak-Kakak WP bisa tau siapa yang lebih kaya dari saya. Saya baru menyadari kalau saya punya begitu banyak hal yang begitu mahal.
Pertama, rumah.
Bukan, bukan rumah sebagai kata benda, tapi rumah sebagai kata sifat. Bukan rumah yang memiliki tembok dan atap, tapi rumah yang saya maksudkan adalah tempat yang menaungi saya dari banyak hal.
Saya bukan bicara rumah dan eksistensinya, tapi rumah dan substansinya.
Di sini saya tinggal bersama enam orang lain: sepasang orang tua, tiga adik, dan nenek dari pihak ibu. Betapa berharganya memiliki mereka, tidur dan beraktivitas dalam satu atap.
Seberapa mahal harga seorang nenek, yang memasakkan makanan favorit untuk santap siang, senantiasa berdoa atas kesejahteraanmu, harga tiap pelukannya, harga tiap ciumannya, seberapa mahal itu?
Seberapa mahal harga seorang bapak, yang bersedia menyupirimu kemanapun, yang mengongkosimu ratusan ribu sebulan, yang mengaji untuk kesembuhan kala kau sakit, yang telah membentuk karaktermu dengan keras, yang tak pernah takut dan mengeluh, seberapa mahal itu?
Seberapa mahal harga seorang ibu, yang selama bertahun bangun pagi, masakkan bekal sedang ia harus berangkat kerja beberapa jam lagi, yang sepulang kerja selalu menuntunmu untuk menghitung 24 x 18, yang mendidik untuk hidup efektif dan hemat, yang menjadi ensiklopedi sejarah, geografi, ilmu alam, dan fisika sekaligus; yang sebutkan namamu di tiap doanya, seberapa mahalkah itu?
Seberapa mahal harga tiga adik perempuan, yang menjadi sahabat yang tumbuh bersamamu, yang saling bisa membaca pikiran karena kalian hampir sepanjang hari bersama selama bertahun, yang menjadi forum bertukar cerita tentang hari, yang mengingatkan salahmu, menambal cacatmu, seberapa mahalkah itu?
Seberapa mahalkah memiliki mereka semua sekaligus?
Betapa kaya saya dengan eksistensi mereka; berapa pundi emas yang setara dengan keberadaan mereka dalam hidup saya?
Kedua, garis keturunan.
Bukan garis kebangsawanan. Ini bukan zaman feodal lagi. Tapi garis keturunan; keluarga besar yang saya miliki. Keluarga Ayah maupun keluarga Ibu, keduanya benar-benar berharga. Saya sayang mereka semua, sangat sayang. Bagaimana mungkin saya tidak menyayangi orang-orang yang kasihnya pada kami tak pernah lekang?
Dengan tante dan om yang senantiasa ingat ulang tahun saya, yang senantiasa memotivasi dan mendukung saya, yang tidak lupa membelikan saya oleh-oleh sepulang dari mereka melancong, yang mengingatkan saya soal belajar pra-SBMPTN, yang selalu merangkul saya dalam dukungan… semuanya, dari mana lagi saya dapatkan hal-hal manis semacam itu?
Memiliki puluhan anggota keluarga seperti mereka, dengan keunikan, kehebatan, dan kasih mereka masing-masing… bagaimana mungkin saya tidak merasa kaya?
Ketiga, sekolah.
Saya bersyukur terhadap almamater SD dan SMP saya. Sangat bersyukur. Tapi, saya bersyukur lebih lagi terhadap SMK yang sedang berusaha meluluskan kami dengan baik semester ini. Saya sangat bersyukur sekolah di sini.
Berapa banyak sekolah, terutama di Jakarta, yang tiga perlima siswi muslimahnya mengenakan jilbab? Berapa banyak sekolah, terutama di Jakarta, yang musholanya diramaikan siswa-siswa untuk Dhuha saat istirahat pertama yang cuma 15 menit? Berapa banyak SMK, yang punya perpus dengan sekitar sepuluh komputer online, bebas diakses siapa saja? Berapa banyak SMK, yang punya lab jurusan Multimedia yang lengkap dengan puluhan komputer yang sangat memadai–RAM dan VGA tinggi–sehingga kami tidak harus punya laptop? Betapa saya beruntung, saya rasa, bersekolah di tempat yang benar-benar mendukung aktivitas saya, tidak hanya akademik, tapi juga secara moril dan karakter?
Terlebih, di sekolah ini, saya sekelas dengan 30 teman yang mengagumkan. Teman-teman yang ingat ulang tahun saya (padahal saya tidak pernah mengangkat topik ulang tahun dengan mereka, sepanjang tahun), teman-teman yang membuat saya lupa dengan duka, teman-teman yang mengenalkan saya betapa menakjubkannya keberagaman dunia ini. Seberapa mahal harga tiga puluh teman sekelas yang memberimu dukungan besar nyaris dalam segala hal, selama 3 tahun tanpa putus?
Tidak semua orang memiliki kekayaan berupa tiga puluh teman sekelas mengagumkan seperti saya.
Keempat, sahabat abadi.
Saya punya sahabat-sahabat yang abadi. Yang tetap akan menyambut saya seburuk apapun keadaan saya, yang bersedia membantu betapapun saya merepotkan mereka. Mereka sahabat-sahabat lama, yang tidak berbatas usia, jarak, dan kesibukan. Para sahabat-sahabat lama.
Betapa kayanya saya memiliki belasan sahabat lama. Orang-orang seperti mereka adalah sahabat abadi; sahabat yang ada kapanpun saya butuh, yang selalu menerima saya bagaimanapun keadaan saya. Saya pernah dengar kutipan; tidak ada sahabat yang lebih baik dari pada sahabat pertama. Sahabat-sahabat yang menyambut saya kapanpun saya datang ke rumahnya, dengan janji atau mendadak. Saya bersyukur mengenal mereka, sangat bersyukur.
Tulisan sebelumnya: Siapakah yang Lebih Kaya dari Saya? (Bagian 2)
Masya Allah, tidak banyak orang yang diberikan kepekaan sehingga mampu mensyukuri segala nikmat yang diberikan-Nya.
Lanjutkan!