Setiap pagi, tidak pernah alpa, hadir sajian puisi, barang sebaris atau sebait. Ada yang memberikannya padaku, tapi sering kali letaknya disembunyikan. Jadi, aku tidak bisa sarapan begitu saja. Aku harus mencari dulu, dimana puisi itu disembunyikan. Kalau sudah ketemu, aku baru bisa sarapan. Sehingga aku punya energi cukup untuk menghari.
Tidak sulit, sih, menemukan puisi-puisi itu. Biasanya, sudah ada ketika aku bangun tidur. Atau kadang, aku baru menemukannya di lemari baju, di perjalanan menuju kampus, di wajah orang-orang yang kutemui. Bentuknya memang bukan untaian kata, lebih sering hanya berupa desir senang atau buncah syukur ketika melihat sesuatu–apapun–yang sesaat kemudian berubah tiba-tiba menjadi baris puisi di kepalaku.
Kamu tau siapa yang memberikan puisi-puisi itu? Coba tebak. Ya, Tuhan. Tuhan pasti memberi puisi setiap pagi. Dia membangunkanku sambil membisikkan bahwa aku diberi satu hari bahagia lagi untuk dijalani. Kemudian memberikanku puisi untuk sarapan, meski kadang puisi itu disembunyikan. Tapi mencari puisi yang disembunyikan itu menyenangkan, karena mengharuskan aku jeli menemukan keindahan dari apapun di sekitarku.
Karena selalu ada puisi tiap pagi, aku jadi tidak pernah meninggalkan sarapan. Kenyang loh, meski cuma sebaris. Apalagi sebait. Aku senang sekali sarapan.. Kalau kamu, sarapan apa?
“Mencari Puisi yang Disembunyikan.”
Nice :’)