Buku Gone with the Wind: Memoar Perempuan Kontroversial

Gambar: https://bacaanbzee.files.wordpress.com/2012/11/gwtw.jpg?resize=269%2C386

Pada awal abad 20, seorang jurnalis perempuan menulis novel mengesankan tentang pranata sosial di kota kelahirannya. Novel yang akhirnya mendunia, diterjemahkan ke puluhan bahasa, mendapat penghargaan Pulitzer untuk kategori fiksi setahun setelah diterbitkan. Jurnalis ini bernama Margaret Mitchell, asli Georgia, Amerika, berhasil membuat dunia terkesan dengan satu-satunya novel yang berhasil ia terbitkan: buku Gone with the Wind.

Dengan judul Gone with the Wind (Lalu Bersama Angin), buku yang sudah terbit sejak 1936 dan diterjemahkan Gramedia ke bahasa Indonesia ini berhasil menjadi satu dari sedikit novel klasik yang mencandu buat saya. Diceritakan dengan rapi, tidak berbelit-belit, konflik menarik, dan sudut pandang yang tidak menghakimi, novel 1100an halaman ini menggambarkan dengan lugas pranata sosial di Georgia (AS bagian tenggara, tapi di buku ini Georgia lebih disebut sebagai selatan) pada akhir abad 19. Selain pranata sosial, novel ini juga menggambarkan suasana perang dengan gamblang, serta menceritakan sejarah dan kondisi politik. Semuanya diceritakan berbarengan dengan alur cerita dan konflik, sehingga tidak membosankan.

Buku ini seakan memoar seorang gadis bangsawan jelita bernama Scarlett O’Hara, putri sulung seorang bangsawan dan pengusaha perkebunan, hidup sejahtera di Tara; rumah dan perkebunan milik keluarganya, di daerah Clayton County. Scarlett adalah seorang yang aktif, menggebu-gebu, percaya diri. Terutama, percaya diri terhadap kemampuannya memikat pria. Semua pemuda di desanya menyukainya. Sementara untuk Scarlett pribadi, ia menginginkan dirinya menikahi Ashley Wilkes, seorang tetangga. Tapi sial, Ashley sudah bertunangan dengan gadis manis baik hati bernama Melanie Hamilton, meski diketahui Ashley juga menyukainya. Dalam keinginan membalas dendam pada Ashley, Scarlett menikahi abang Melanie, Charles Hamilton.

Tidak lama setelah pernikahan, perang meletus, semua pemuda ikut serta, termasuk Charles dan Ashley. Malangnya, Charles tewas di perjalanan menuju medan perang, bersamaan Scarlett mengandung. Sepeninggal Charles, Scarlett pindah untuk tinggal bersama Melanie dan bibinya di Atlanta atas undangan mereka. Scarlett menerimanya dengan pertimbangan bahwa ia akan lebih mudah menemui Ashley jika tinggal bersama Melanie, kendati saat itu Ashley berada di medan perang.

Suatu hari, Ashley cuti dari perang, pulang setelah lama tidak pulang, ke rumah Melanie dan Scarlett, melepas rindu pada keluarga. Scarlett, yang tidak melepas harapan terhadap Ashley, turut bahagia atas kepulangan Ashley. Di momen ini, Ashley membuat Scarlett berjanji akan selalu menjaga Melanie untuknya, meski Scarlett membenci Melanie. Jelas konflik bagi diri Scarlett sendiri, yang sudah tidak menyukai Melanie sedari awal, tapi tidak bisa menolak permintaan Ashley untuk menjaga Melanie untuknya. Sekembalinya Ashley ke medan perang, sulit sekali mendapatkan kabar darinya, sementara Melanie sedang mengandung anak pertama mereka.

Perang mendekati akhir, pihak Selatan terdesak, orang-orang Yankee akan segera membakar Atlanta. Penduduk mengungsi, tapi sayangnya Scarlett tidak bisa ikut serta kemanapun; ia terikat janjinya untuk menjaga Melanie yang akan segera bersalin. Di tengah pengepungan, dengan susah-payah Melanie melahirkan seorang bayi perempuan, kemudian sesegera mungkin mereka melarikan diri dengan kondisi yang sangat terbatas, berusaha mencapai Tara secepat mungkin. Pelarian ini dibantu Rhet Butler, kenalan Scarlett semasa remaja, yang kini populer sebagai pebisnis gelap semasa perang. Sayangnya, Rhet Butler hanya mengantar setengah jalan, kemudian Scarlett harus memimpin sisa perjalanan melelahkan itu.

Saat tiba di desanya, ia kaget karena desa itu sudah terbakar habis oleh para Yankee. Beruntung, Tara-nya masih ada, rumahnya masih berdiri, meski perkebunannya sudah musnah. Dari awal, dengan tekad kuat Scarlett membangun perkebunan itu lagi. Ia tak mempermasalahkan dirinya yang berdarah biru bekerja kasar, karena ia bertekad akan membangun kembali kesuburan dan kejayaan Tara. Terlebih, sekarang ia harus menanggung beban keluarganya serta Melanie dan bayinya.

Perang sudah usai ketika ia mulai membangun Tara. Tapi muncul ancaman berupa pajak besar atas Tara yang harus segera dibayarkan, atau Tara akan disita. Setelah perang, mereka tidak punya tabungan apapun. Bertekad melindungi Tara dari disita, Scarlett kembali ke Atlanta, berharap bisa meminjam uang dari Rhet Butler. Sayangnya, keadaan Rhet tidak memungkinkan untuk meminjaminya uang, sehingga ia terpaksa menikahi tunangan adiknya sendiri, Frank Kennedy, dengan motif mendapatkan uang untuk membayar pajak Tara. Scarlett sangat berambisi untuk kaya raya seperti dulu, sehingga nekat melakukan hal-hal yang menyalahi pranata di masa itu. Selain menikahi tunangan adiknya, ia membeli pabrik dan mengelolanya langsung, menjajakan produknya dengan berkeliaran di jalanan yang penuh dengan negro bekas budak dan gelandangan sepanjang hari. Ia tidak peduli bagaimana ia menjadi buah bibir yang tidak sedap di masyarakat, karena orientasinya semata hanyalah ambisinya untuk kembali kaya.

Tapi cerita masih jauh dari selesai. Meski perlahan Scarlett berhasil mengumpulkan uang, banyak konflik yang datang dari masyarakat pada dirinya. Bagaimana kematian suami keduanya membuat ia menikah lagi dengan kenalan lama, bagaimana orang-orang memandangnya menjalani usahanya, bagaimana hubungannya dengan keluarganya di Tara, bagaimana hasratnya terhadap Ashley yang tidak kunjung padam, dan bagaimana-bagaimana lain yang dituliskan Margaret Mitchell yang membuat saya baca buku ini dalam sekali duduk. Ah, tidak sekali duduk juga sih. Buku ini terlalu tebal untuk sekali duduk. Tapi pokoknya mencandu. Ceritanya tidak berakhir bahagia, sayangnya. Tapi novel dengan akhir yang tidak bahagia memang lebih seru sih.

Buku Gone with the Wind menggores kesan yang dalam, karena sebagai novel klasik, tema yang diangkat terlalu lugas. Gone with the Wind menggambarkan Scarlett sebagai sosok kontroversial yang tidak pernah peduli perkataan orang lain, sementara masyarakat sekitarnya sangat memikirkan pendapat dan penilaian orang lain. Ia juga berbisnis, turun ke pabrik, dan menjajakan produknya di jalanan, ketika jalanan penuh dengan bekas budak dan gelandangan. Bagi pranata masa itu, tindakan Scarlett sudah melampaui norma dan ia menjadi buah bibir yang tidak sedap di masyarakat. Tapi Scarlett mengabaikannya. Banyak nilai yang ia abaikan, ia berjalan pada jalur yang ia yakini semata, dan hidupnya jauh lebih praktis dibanding yang lain. Di konflik-konflik di buku ini, Margaret Mitchell menuliskannya dengan baik tanpa keberpihakan. Ia mengolaborasikan alur cerita dengan intrik politik, sejarah, poin-poin pranata sosial, dan romantisme.
Buku ini mencandu, ditulis dengan rapi, gaya bahasa yang mengalir, dan bikin penasaran karena satu konflik berkaitan dengan konflik lainnya. Jarang buku klasik yang saya baca sekali duduk. Hanya saja, penulis terlalu fokus pada alur, konfliknya kurang diperdalam.

Buku ini juga dhttp://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTseq0r6SRA4KoP__E_MlmffM5RgeFI83YHMxcP5PWfRAlCOMr9iadaptasi dalam bentuk film (1939, tiga tahun setelah buku ini terbit) dengan judul yang sama. Durasinya cukup lama, tiga jam. Banyak tokoh yang dihilangkan, bagus sih untuk efektivitas, karena film dengan terlalu banyak tokoh akan membingungkan penonton. Filmnya bagus, karena pemeran-pemerannya sesuai dengan yang saya bayangkan, latarnya yang secara visual sangat menggambarkan deskripsi yang tertulis di buku, dan alurnya, meski ada bagian-bagian yang dipotong, tetap hidup. Tapi tetap saja, karena film ini adalah adaptasi, buku selalu jadi yang terbaik bagi saya untuk menikmati cerita.

Baca resensi lainnya

Ada yang sudah pernah baca buku ini? Atau ada yang memasukkan buku ini ke daftar baca?

Kasih tanggapan dong!

Satu pemikiran pada “Buku Gone with the Wind: Memoar Perempuan Kontroversial”

  1. Setelah membaca uraiannya saya jadi takut sendiri ha ha ha….. Apalagi klo endingnya gak bahagia ntar jadi sedih.
    Saya sukanya happy ending aja karena suasana hati selalu terbawa sama novel. BTW good review.

    • Takut apanya Kak? Perangnya? Akhirnya nggak bahagia tapi nggak sedih juga sih. Kalo saya sih, akhir yang gak hepi malah jadi lebih berkesan, haha. Makasih Kaa

      • Nggak takut mbaca kok kesannya tokoh utama menderita sekali. Saya nggak tega mbaca novel begituan. Maunya tokoh utamanya seneng2 doang. Kalaupun harus menderita ya jangan keterlaluan. Ha ha ha…..

        • Duh jadi sedih, nulis resensi malah bikin orang takut baca bukunya. Hahaha.
          Tapi si tokoh utamanya punya watak gigih dan ambisius sih, jadi saya sih nggak kasian. Atau mungkin sayanya yang emang minim empati. Hahaha.

%d blogger menyukai ini: