MOS (Masa Orientasi Siswa) Dilarang: Pro, Kontra, dan Evaluasinya

MOS (Masa Orientasi Siswa) Dilarang: Pro, Kontra, dan Evaluasinya

Ilustrasi Permendikbud


Menyoal pro kontra MOS, jadi teringat 27 Mei lalu, diresmikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 18 tahun 2016 mengenai pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru yang berlaku mulai tahun ajaran 2016/2017 ini, atau lebih akrab dikenal dengan masa orientasi siswa (MOS atau MOPDB). Salah satu poin di Permen ini adalah dilarangnya masa orientasi siswa/peserta didik baru yang penyelenggaranya adalah kakak kelas/alumni. Ini adalah Permen yang kontroversial; pihak pro mendukung, karena dengan ini senioritas atau perisakan (bullying) akan terminimalisir. Sementara pihak kontra menyayangkan keputusan ini karena MOS sebenarnya adalah insiasi murid ke sekolah baru yang seru dan peluang untuk punya banyak teman dari lain kelas.

Lampiran 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 16 tahun 2016

Permen no. 18/2016 ini menganggap pengenalan lingkungan sekolah ke murid baru adalah penting, tapi khawatir akan rawan perisakan dan konten-konten yang tidak edukatif yang biasanya ada di MOS. Saya rasa, latar belakang Permen ini adalah banyaknya perisakan dan aturan atau perintah aneh yang merepotkan dan tidak bermanfaat bagi para siswa baru di dalam program MOS, misalnya (seperti yang tertera di lampiran 3 Permen di atas) aksesoris yang tidak wajar atau papan nama aneh atau hal-hal yang lebih ekstrem lainnya (misalnya, berjoget untuk mendapatkan dtanda tangan kakak kelas). Hal-hal seperti ini banyak terjadi rupanya, terutama di jenjang SMP dan SMA.

Pro Kontra MOS

Saya pernah mengalami masa orientasi 3 kali (SMP, SMA, dan kampus) dan sering melihat masa orientasi yang dialami adik-adik dan teman-teman. Atas pengalaman ini, saya setuju dengan penegasan Permen ini atas beberapa kegiatan dan atribut yang jelas dilarang. Tapi di samping itu, saya sangat menyayangkan penyelenggaraan kegiatan ini yang sepenuhnya hak guru. Kegiatan dan atribut tidak penting memang seharusnya ditiadakan, tapi sayang sekali jika perencanaan dan penyelenggaraan dilakukan oleh guru (meski ada beberapa poin dispensasi yang membolehnya siswa turut serta).

Masa Orientasi Siswa Baru. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/16.

Saya sendiri menyukai MOS yang saya alami di SMP dan SMK, yang diselenggarakan oleh OSIS (dan MPK juga, kalo nggak salah ingat), karena jadwal yang padat materi dan suasana sekolah yang ramah. Di samping agenda wajib MOS seperti orientasi KBM, pengenalan sarana-prasarana sekolah, demonstrasi ekskul, saya merasakan beberapa agenda lain yang tidak kalah seru, misalnya di SMP kami lebih banyak senang-senang dengan permainan dan bernyanyi-nyanyi, dan di SMK kami lebih banyak simulasi diskusi, berpikir cepat, dan bimbingan kreatif (terima kasih OSIS SMKN 48 Jakarta!). Kesemuanya difasilitasi oleh kakak kelas, yang tentu saja ini bisa:

  • menambah jaringan, karena bisa mengenal kakak kelas, pengurus OSIS/MPK/Ekskul, teman-teman dari kelas lain, guru, dan staf sekolah lainnya;
  • meluruhkan senioritas, karena murid baru dan senior meramaikan satu kegiatan bersama-sama;
  • membangun kekompakan kelas, karena pastinya (secara langsung maupun tidak) ada konten yang menuntut kerja tim, semisal permainan kelompok, diskusi, dan lain-lain;
  • memberdayakan para kakak kelas sebagai orang yang sudah lebih mengenal lingkungan sekolah, dan mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab mereka.
😎

Kalau penyelenggaranya guru, saya rasa orientasi akan cenderung canggung dan kaku (kita tidak bisa bercanda dengan guru sebagaimana kita bercanda dengan kakak kelas yang cuma 1-2 tahun lebih tua). Tapi sayangnya, tidak semua sekolah menyelenggarakan MOS semenyenangkan MOS yang saya alami . Banyak sekolah yang MOS-nya masih menyertakan aturan yang ‘primitif’ seperti:

  • berpenampilan aneh (atribut nggak wajar, papan nama rumit, dan lainnya),
  • barang bawaan yang sulit didapat,
  • tugas-tugas yang esensi baiknya tersembunyi dibalik kesia-siaan pengerjaannya yang rumit,
  • dan lain-lain.

Inilah kegiatan-kegiatan yang minim nilai edukatif yang ingin dipangkas Mendikbud, diganti dengan alternatif lain.

Lampiran 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 16 tahun 2016

Mendukung Permen tersebut, di Bandung, MOS difokuskan pada beberapa program utama (meski sebelum Permen terbit pun program-program ini sudah berjalan),

Empat program utamanya ialah bela negara, jaga budaya, peduli lingkungan, dan cinta agama. Nah, empat program itu nanti diterjemahkan sebagai materi untuk pelajar pengenalan lingkungan sekolah.

  • Ridwan Kamil, Walikota Bandung. Sumber

Konten-konten yang diwajibkan maupun disarankan di lampiran Permen tersebut menarik dan edukatif, tapi apakah pelaksanaannya akan efisien kalau guru yang menyelenggarakan? Guru, memang cenderung lebih bijak, lebih bertanggung jawab, lebih berpengalaman, dan yang terpenting, lebih mengenal lingkungan sekolah. Tapi bukankah guru lebih sulit melakukan pendekatan yang bersahabat dibanding kakak kelas?

Dan bagaimana soal orientasi di universitas, jenjang yang tidak terkena Permen ini? Saya tidak tau banyak, tapi saya rasa sudah lebih baik dibanding yang dilaksanakan di sekolah menengah pada umumnya. Mungkin, karena di universitas tidak ada tingkatan kelas yang menegaskan mana senior dan mana junior, atau karena para mahasiswa sudah lebih matang dibanding sewaktu mereka masih sekolah, atau karena para mahasiswa baru sudah cukup pintar untuk dibodohi macam itu. Sementara pengalaman saya mengenai orientasi di universitas 2014 lalu yang berlapis-lapis, terdiri dari orientasi belajar, orientasi kehidupan kampus, pengenalan dan masa bimbingan fakultas, dan pengenalan jurusan. Orientasinya tidak jauh berbeda dengan SMP dan SMK, sama-sama padat materi dan suasana ramah. Mungkin kecuali pengenalan dan masa bimbingan fakultas, saya menyayangkan karena orientasi ini cenderung ‘primitif’; satu-satunya orientasi yang saya alami yang mengharuskan atribut dan papan nama aneh dan hal-hal tidak membangun lainnya. Secara umum, orientasi universitas memang lebih baik dibanding sekolah menengah, tapi sayangnya saya merasakan sebaliknya.

1cak.com
Apakah ini buah simalakama di pendidikan? Sumber

Kalau teman-teman, bagaimana pengalaman (atau pengamatan) dan opini tentang pro kontra MOS atau orientasi sekolah baru?

Baca artikel lain terkait pendidikan

Kasih tanggapan dong!

Satu pemikiran pada “MOS (Masa Orientasi Siswa) Dilarang: Pro, Kontra, dan Evaluasinya”

  1. MOS itu sebenarnya dibuat untuk pengenalan – tujuan yang baik. Hanya saja prakteknya selama ini sudah semakin jauh dari itu. Yah… moga sih akan lebih baik ke depannya. Mungkin daripada pusingin masalah MOS nya doang, ada baiknya mulai berpikir gimana menghasilkan leader itu dibandingkan siswa berprestasi saja.

    • Yaaaa setuju Mas Ryan. Jadi keinget kemarin sempat baca (lupa dimana) pelajar-pelajar Indonesia banyak yang menang Olimpiade tapi nggak pernah dapet Nobel atau bikin sesuatu yang greget gitu buat dunia, karena mental leadernya kurang. Senada sama yang Mas Ryan bilang

  2. Hihihi mos primitif udah bener-bener nggak ada dong πŸ˜€ kemarin adikku mos SMP dia tugasnya simpeeel-simpeeel banget πŸ˜€ seolah nggak ada bebaaan πŸ˜€ hihihih

  3. Bagus memang peraturan yg berupaya menekan senioritas seperti itu. Tapi, iya. Sayangnya kalo dengan guru akan terasa lebih kaku dan kurang bahan tentang ‘pengalaman MOS’. Kalo untuk universitas, jujur saja saya berkuliah di institut yang masa orientasinya bisa dibilang lama dan berat. Sisi positifnya para maba akan lebih terlatih mentalnya dan punya kenalan senior yg lebih banyak, yg bakal berguna banget untuk college-life. Negatifnya mungkin karena terlalu lama dan berat, bisa menggangu akademik dari mahasiswa tertentu.

    • Iya, jadi penasaran gimana rasanya di MOS sama guru, makin gampang proses orientasinya atau nggak. Tapi berdasarkan (sedikit) berita yang saya liat sih nggak beda jauh dari MOS sebelumnya, cuma nggak ada tugas dan atribut aneh aja.
      Beratnya itu berat untuk ngelatih mental di kehidupan kuliah kan? Kalo gitu bagus, beberapa ospek lain beratnya di perisakan oleh senior atau tugas-tugas yang alih-alih ngebantu akademik, malah mengganggu.

  4. Mantap. Peraturan ini tinggal dilaksanakan dengan baik. Seng penting, sudah tidak ada lagi MOS “primitif”. Soal siapa pelaksananya, saya rasa memang ada baiknya melibatkan siswa, hitung-hitung mendidik mereka berorganisasi

  5. Iyaa,. mudah-mudahan jadi lebih baik. Saya dulu waktu MOS juga merasa kerepotan, perlengkapan printilan yang ngga penting dan entah apa manfaatnya. Pengenalan lingkungan sekolah memang sebaiknya dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang efektif dan bermanfaat. Sebaiknya juga tetap melibatkan kakak kelas, dengan catatan guru juga ikut berperan aktif. Selama ini, agaknya MOS seperti sudah diserahkan sepenuhnya pada panitia yang notabene adalah kakak kelas, sehingga kadang ditemukan kegiatan yang cenderung aneh dan jauh dari kata bermanfaat.

  6. Dua jempol buat pak anis baswedan. Mos era sblmnya mmg sngt jauh dr unsur2 positif yg ddpt dr para peserta didik, malahan justru membuat psikis siswa merasa tertekan

    • Iyaaa. Dengan gitu mental yang dibangun malah mental patuh dan takut, bukan mental berani dan inisiatif. Seneng banget sama berbagai kebijakan Pak Anies, termasuk himbauan nganterin anak di hari pertama sekolah. Bener-bener ngebangun seluruh elemen masyarakat (ga cuman tenaga pendidik) untuk berpartisipasi di pengembangan pendidikan

%d blogger menyukai ini: