Bincang yang Merangkum Dua Dasawarsa

Bincang yang Merangkum Dua Dasawarsa

bincang pagi-01
Akhir Maret lalu, aku mampir ke satu rumah di Antapani, mengunjungi laki-laki yang baru kutemui dua kali sepanjang hidupku. Kemudian menghabiskan pagi dengan duduk berdua di meja makan selama berjam-jam, membincangkan banyak hal: bagaimana kami masing-masing menghari, apa yang kami sukai, apa yang sebaiknya kami lakukan di esok hari, dan hal-hal yang kami tidak ceritakan kebanyak orang. Bincang pagi yang istimewa, tanpa gangguan suara televisi, notifikasi ponsel, atau kucing yang bergelung di kaki. Tapi pagi merangkak menjadi siang, dan bincang itu harus usai.
“Kapan-kapan, kalau ada masalah atau apa, ke sini ya, jangan sungkan,” ia mengucap dengan sungguh-sungguh, dengan senyum yang sarat kasih. Oh, Tuhan. Aku akan ke sana, lagi dan lagi, tapi bukan karena masalah, melainkan karena bahagia. Hari itu aku sengaja bertandang ke sana untuk menutup Maret dengan menggenapkan bahagia. Selalu ada banyak sukacita di Maret, dan aku ingin kunjungan ini jadi hal istimewa yang menutup Maret. Selain itu, satu waktu di hari depan, aku ingin berkunjung lagi untuk merayakan hari dan bertukar bahagia.
Pagi itu, jam-jam pendek obrolan kami dipaksa cukup untuk merangkum dua dasawarsa yang lewat tanpa sua. Dua dasawarsa tanpa ada cium tangan, tanpa ada ucapan hari raya, tanpa ada obrolan, tanpa ada ungkapan rindu, tanpa ada temu. Dua dasawarsa berada dalam kabut, dua dasawarsa tuli dan bisu sekaligus. Dua dasawarsa yang membuat hutang cerita menggunung.

***

Kangen, Pa. Amat sangat.

Kasih tanggapan dong!

4 pemikiran pada “Bincang yang Merangkum Dua Dasawarsa”

%d blogger menyukai ini: