Didatangi Diri Sendiri

Aku sedang menghitung jumlah jerawat di depan cermin ketika ada seruan dari depan rumah.
“Prita! Prita!”
Aku bergegas keluar meski hitungan belum selesai. Ah, itu bisa kapan-kapan, esok lusa jerawat-jerawat itu pasti belum hilang. Di depan pagar, tersenyum padaku seorang perempuan tirus, lebih tua dariku, wajahnya tampak familiar tapi aku yakin aku tidak pernah melihat ia sebelumnya.
Melihat kebingunganku, ia nyengir ramah.
“Halo, Prit,” sapanya, “Aku mau antar sesuatu.”
Ia mengacungkan amplop cokelat besar, seperti amplop seribuan yang biasa kubeli untuk kirim LPJ beasiswa ke yayasan di Salemba.
Kendati ragu, aku menghampirinya, membuka pintu pagar. Tapi alih-alih menyilakan masuk, aku berdiri di luar, menunggu apa yang akan ia sampaikan. Aku tidak menerima amplop yang ia sodorkan, kami hanya berdiri berhadapan.
“Kamu kenal aku, kan?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Aku Prita,” cengirnya, “Yang baru berulang tahun ke tiga puluh beberapa minggu lalu.”
Astaga! Sekarang aku paham kenapa ia tampak familiar: aku melihatnya tiap hari di cermin! Ia agak berbeda sekarang. Wajahnya lebih tirus, warna kulitnya lebih gelap, dan tubuhnya agak lebih berisi dibanding diriku. Mungkin ia sudah jadi arkeolog lapangan. Dan ya Tuhan, gigi gingsul itu! lebih mirip gingsul pacarnya Re yang sipit itu dibanding gingsulku hari ini. Ia mengenakan kaos kebesaran–jenis pakaian yang selalu kukenakan sejak kecil–dan celana kargo. Mungkin dia benar-benar arkeolog kini. Tapi, kita tidak bisa mengklaim seseorang atas penampilannya, kan. Di atas segalanya, aku sangat senang kedatangan diriku yang lebih tua. Mungkin aku bisa minta petuah, saran, atau hal-hal semacam itu.
“Wow, Prita,” aku bergumam takjub. “Jadi… amplop apa itu? Bukan undangan pernikahan kan?” aku bertanya satir.
Ia tertawa. “Bukan, bukan. Tenang saja, menikah masih bukan hal yang jadi perhatian besarku kok. Aku tidak kehilangan apatisme soal pernikahan. Aku masih sibuk bahagia dengan kehidupan lajang, tahu.”
“Bagus,” timpalku puas. “Nah, sekarang apa? Kamu sekarang jadi arkeolog beneran, ya? Tapi kamu masih aktif bikin desain kan? Dan nulis blog? Dan mengingat ulang tahun kawan-kawan?”
Dia tersenyum. “Apapun kesibukanku, intinya aku sibuk merayakan hari. Sebagaimana kau, sih. Aku masih bangun pagi untuk bersenang-senang dengan hal-hal yang kusukai, jadi kau tidak perlu khawatir. Oh, dan aku harus buru-buru, Prit. Aku ke sini bukan untuk berbincang, aku cuma mau antar amplop ini.”
Ia menyodorkan amplop itu lagi, yang kali ini kuterima.
“Nah, aku cabut dulu. Makasih, Prit, selamat merayakan hari, ya!” ia melambai, kemudian berbalik dan berjalan pergi. Aku tidak menahannya atau apa. Lalu aku masuk ke rumah dan membuka amplop itu.
Isinya lembaran-lembaran folio penuh tulisan tangan. Aku membaca sekilas, lalu tertawa. Ya Tuhan! Ini cerita fiksi fantasi yang dikarang diriku, sedekade lalu! Ketika Prita saat itu masih berusia sepuluh, belum terjun terlalu dalam ke rasionalitas dan ketika ia belum kecanduan Twitter dan Instagram seperti hari ini. Ini cerita yang yah, cukup melantur. Alur yang timpang, tokoh yang sangat tidak masuk akal, latar yang dideskripsikan dengan payah, tapi ya ampun, aku jadi ingat seberapa dalam ide ini memengaruhiku, sedekade yang lalu. Ini lembaran-lembaran yang cukup banyak dan penuh. Rupanya aku menulis cukup banyak juga saat itu. Akan butuh waktu lama untuk membacanya. Jadi, aku meninggalkannya; aku harus menyelesaikan cuci piring dahulu, agar dapat membaca dengan nyaman.
Saat aku sedang membilas gelas-gelas di wastafel, ada suara lagi dari arah pagar.
“Prita! Prita!”
Aku keluar untuk menghampiri orang itu, dan aku tertawa keras saat melihat siapa yang berdiri di depan pagar rumah. Seorang bocah usia SMP, dengan kaos kebesaran dan celana training, nyengir padaku. Itu diriku, Prita 11 tahun.
“Ada apa?” tanyaku, merasa sangat lucu didatangi bergiliran oleh diriku dari masa-masa yang berbeda.
“Prita tua tadi ke sini ya?” ia bertanya balik. “Lembaran folio itu ia ambil dariku, padahal ceritanya belum selesai, dan sekarang aku mau melanjutkannya. Jadi, aku minta itu darimu.”
“Tapi aku mau baca dulu,” tolakku.
“Ya ampun, untuk apa? Kau sendiri yang menulisnya, kan?”
“Aku sekarang 22, Prit, bukan 11 lagi.”
“Kamu tidak mau mengakomodir keinginan menulisku, Prit?”
Ditanya seperti itu, aku merasa skak mat.
“Oke,” aku menyerah. “Kuambilkan sebentar. Tunggu di sini.”
Aku masuk ke rumah dan mengambil lembaran-lembaran folio penuh tulisan tangan yang berantakan. Meski merasa sayang karena baru membaca beberapa paragraf, tetap kuberikan juga pada bocah yang menunggu di depan pagar itu.
“Selamat menulis, ya,” ujarku menyodorkan lembaran folio itu. “Dan jangan pernah berhenti, ya.”
“Kau yang menentukan,” sahutnya balik. Tanpa kata-kata pamit dan melambai, ia berbalik pergi.

Kasih tanggapan dong!

3 pemikiran pada “Didatangi Diri Sendiri”

%d blogger menyukai ini: