Lari lebih cepat lagi, ya

Lari lebih cepat lagi, ya

Hari sudah usai, malam merangkak naik. Aku masih di peron empat stasiun Manggarai, tapi tidak menunggu kereta; sudah tiga kereta lewat dan aku mengabaikannya karena masih tenggelam dengan menggambar dengan stylus.

Leherku pegal karena kebanyakan menunduk, jadi aku mengangkatnya, menoleh kiri kanan untuk meregangkan, dan tiba-tiba, ada seorang perempuan. Di antara keramaian. Ya Tuhan, aku familiar sekali dengan perempuan ini.

Aku menghampirinya.

“Prita,” aku menepuk bahunya. Ia menoleh.

Wajahnya sama persis denganku, cuma pipinya punya jerawat lebih banyak, dan binar matanya punya energi yang lebih kobar. Ia masih pakai seragam putih-abu, bawa ransel kempis yang aku tahu tidak ada buku, isinya paling hanya flashdisk. Aku paham jelas kalau ia sekolah bukan untuk buku dan pelajaran, tapi untuk main komputer di lab jurusan.

“Hei,” sapanya balik, agak bingung, kemudian langsung menguasai suasana. “Kamu juga Prita ya. Cuma, lebih tua.”

“Iya. Aku 23 tahun sekarang. Dan kau masih 16.”

“Iya.”

“Jangan bertindak bodoh, Prit.”

“Apa?” tanyanya bingung.

“Habis lulus kau harusnya langsung kerja. Jangan langsung kuliah. Kerja, nabung yang banyak. Nabung duit dan portofolio. Baru kuliah dengan sejahtera. Sangat mengganggu, ngampus dalam keadaan kere. Aku harus super perhitungan, nggak bisa banyak nongkrong dan main, dan di tahun-tahun awal harus mencari sela di antara kesibukan untuk menyusun portofolio desain yang bagus, biar aku bisa cari proyek lepasan. Dan bagaimana cara bikin portofolio desain? Dengan sukarela ngedesain. Ya Tuhan, itu proyek-proyek desain menyebalkan, tapi itu untuk bangun portofolio. Kalau kamu sudah kerja jadi desainer sebelumnya, meski cuma kacangan, itu akan jauh lebih baik. Kamu bisa terima proyek-proyek yang membayarmu dengan layak, dan mengerjakannya di sela-sela kuliah.”

Dia menatapku, agak bingung.

“Oke,” gumamnya. Sesaat, ia tampak berpikir. “Eh tapi… kamu berhasil melewati itu semua, kan, akhirnya?”

Aku diam sebenar. Mengangguk. “Tapi dengan banyak bantuan sih. Aku dapat beasiswa, teman-teman yang suportif, dan—di tahun-tahun terakhir—pekerjaan yang membayarku dengan layak. Tapi, selama ngampus, temanku itu-itu saja: Vaya dan Nani. Bukan orang-orang yang suka jajan. Tapi kalau diajak duduk mengobrol, diskusinya seru sekali. Tapi sayangnya keduanya dari fakultas yang beda. Kami nggak sering-sering amat duduk bareng mengobrol. Aku agak minder main sama beberapa teman yang status sosialnya tinggi. Kalau saat itu aku punay pekerjaan bagus dan cukup duit, mungkin aku bakal lebih lancar berorganisasi. Dapat relasi lebih bagus. Pengalaman lebih kaya. Karakter lebih matang.”

Aku diam sejenak. “Tapi ya sudahlah. Aku sudah lebih stabil sekarang. Aku bisa bangun relasi, pengalaman, dan karakter, sekarang. Mungkin akan lebih sulit dari saat ngampus, tapi ya, keterlambatan bukan masalah.”

Dia, Prita 16 tahun, menatapku, mukanya penuh tanya. Dia diam beberapa saat sampai akhirnya bertanya, “Kamu sudah jadi desainer?”

“Ah, itu cita-cita naif. Tidak, tidak, sekarang pekerjaan utamaku bukan desain. Itu cuma sampingan.”

“Bukan cita-cita naif,” sanggahnya. “Cuma kamu yang terlalu payah untuk eksplor lebih jauh, kemudian berdalih kalau desainer adalah cita-cita naif dan kamu nggak perlu memperjuangkannya.”

Aku mengangkat bahu. “Terserah, tapi hari ini aku senang dengan pekerjaanku.”

“Kamu punya banyak cita-cita, kan?” tanyanya.

“Yah, sepertimu, masih sama kok. Kobarnya belum redup. Tapi aku sering kelelahan.”

Kami diam sejenak.

“Prit,” panggilnya. “Boleh aku minta sesuatu?”

“Ya?”

“Lari lebih cepat lagi ya, karena aku sekarang terlalu lamban.”

Kasih tanggapan dong!