
Cita-cita, berkodi-kodi jumlahnya. Macam-macam usianya. Ada yang baru tiga hari, ada yang satu bulan, ada yang dua tahun, empat tahun, lima tahun, dua puluh tahun, atau bahkan lebih. Beberapa di antaranya sudah tercapai, tetapi sebagian besar masih belum.
Aku mengoleksinya.
Dulu, cita-cita ini suilt digapai karena entah aku tidak punya uang, tidak punya akses, bingung kemana harus meminta panduan, atau masih terlalu kecil. Hari ini, kurasa aku sudah punya semua sumber daya yang aku butuh. Atau setidaknya, aku sudah punya jauh lebih banyak dari kapanpun sebelumnya. Aku sudah bisa memulai dan mencicil sedikit-sedikit.
Memang, beberapa di antaranya tidak cukup dikerjakan dalam satu malam. Butuh menabung banyak energi pula sebelum memulai. Tetapi aku tidak khawatir: dari awal aku sudah merancang supaya cita-cita ini mustahil basi. Dan berikrar dalam hati: aku akan menjadi pengejar yang bebal.
Oh, dan lara-lara yang lalu, yang sekarang sudah bisa kusenyumi. Ternyata memaafkan luka itu mudah: temui lebih banyak teman, sambangi lebih banyak tempat, rayakan lebih banyak memori, dan tentu saja: menggambar dan menulis yang lebih banyak. Setelahnya, luka-luka lalu bukan apa-apa lagi kecuali bersit kecil yang sudah bisa kusenyumi. Sebab, sukacita membuatku membesar, jauh melampaui luka-luka yang sekarang sudah bukan apa-apa lagi.
Aku kini merayakan hari dengan lebih riuh dari kapanpun sebelumnya. Tuhan, terima kasih.