Lima belas biji, dari pertama masuk SMP hingga pra-UN. Belum termasuk coretan-coretan di lembaran yang berserakan, di halaman belakang buku pelajaran, di file berformat docx, di Multiply, di Tumblr, di email (kadang saya saling emailan sama diri saya sendiri), dan di media-media lain termasuk tembok kamar dan telapak tangan.
Kebanyakan buku harian saya emang bentuk buku tulis, bukan buku agenda bersampul tebel atau berhalaman lucu-lucu. Alasan pertama: karena bentuk buku tulis bakal menyamarkan sehingga gak keliatan kalo itu adalah buku harian, jadi orang-orang gak tau itu adalah buku harian yang super rahasia, jadi aman dari kecolongan dibaca. Itu trik, menurut saya. Alasan kedua: saya nggak mau mengalokasikan duit saya buat beli buku harian yang lucu, wangi, dan warna-warni. Selalu ada kebutuhan yang lebih penting. Lagipula saya lebih nyaman nulis di buku tulis. Saya ngerasa nggak enak kalo buku harian yang cantik-cantik itu ternodai oleh amburadulnya coretan harian saya.
Biasanya satu buku habis saya coreti dalam waktu 3-6 bulan. Nggak rutin ngisi, meskipun bagi saya itu kebutuhan primer. Kalo saya Voldemort-nya J. K. Rowling, maka buku-buku harian itu adalah horcrux saya. Dan saya paling benci ngisi buku harian dengan tulisan narasi biasa. Saya nyoret-nyoret, bukan nulis rapi. Sayangnya saya belum sempet motret isinya, bagaimana berantakannya tulisan-tulisan saya, mungkin nanti kalo saya lagi bongkar diari.
Saya sering nulis cuplikan fiksi, kutipan sebaris-dua baris, beberapa bait puisi, esai berhalaman-halaman, monolog, dialog, dan surat. Bukan cuma tulisan, saya juga ngisi dengan gambar. Kadang tipografi, desain busana, desain arsitektur, komik, dan macem-macem ilustrasi sederhana. Saya emang belum ahli di kepenulisan atau gambar-menggambar, tapi saya seneng melakukannya. Itu ekspresi diri, dan–saya mengakui kebenaran opini umum ini–kalau menulis dan menggambar adalah terapi kejiwaan yang sederhana.
Sangat menyenangkan baca buku-buku harian lama, saya jadi tau seberapa pesat saya berkembang. Yah, evaluasi ulang. Kadang, ada sisi dari diri saya yang memburuk alih-alih membaik, dan membaca ulang buku harian itu mengingatkan saya.
Saya pernah janji ke diri saya sendiri, sesibuk apapun saya, saya harus terus nulis buku harian. Nggak harus di bukunya, bisa di blog, twitter, atau dimanapun… yang penting hari-hari saya harus ada rekamannya, entah dalam bentuk tulisan dan gambar. Ini bukan hobi, tapi ini kebutuhan 😀
Gimana cara Kakak-Kakak MP merekam hari? Dengan tulisan, ilustrasi, fotografi, atau media lainnya?