Tawaran dan Tanggung Jawab – Bagian 1

Cuma cuplikan dari cerita fiksi yang belum utuh.

https://i2.wp.com/dl10.glitter-graphics.net/pub/467/467980r81re9x9km.gif?w=615

Dari kata-katanya, Aisyah berpikir Sandyo menganggapnya menarik. Tapi segera ia  menepis pikiran itu. Ah, Sandyo kan memang jenis orang yang menganggap setiap orang menarik kan. Bahkan si guru sejarah yang tua dan membosankan itu juga selalu dinilai menarik olehnya.

“Kau pemberani dan idealis, Aisyah, itu kenapa aku mengajakmu. Sebelumnya aku sudah mengajak Dion, tapi dia terlampau sibuk, jadi dia menolak.”

Aku juga sibuk, Aisyah membatin. Tapi ini benar-benar peluang besar untukku. Aisyah menimbang proposal Sandyo di tangan.

“Aku nekat, bukan pemberani. Dan aku blak-blakan, bukan idealis,” ujarnya berusaha sok merendah. Padahal ia tau, apa yang dikatakan Sandyo bukan pujian; kebiasaan Sandyo lah memberikan pujian pada lawan bicaranya. Kadang ini membuat siapapun yang bicara dengannya merasa jengkel, selain merasa senang.

Mereka diam. Aisyah  membolak-balik proposal Sandyo, dan Sandyo sendiri menunggunya berkomentar.

Proposal Sandyo bagus dan tersusun begitu sistematis. Dengan modal satu juta rupiah, dan dengan jam kerja kurang lebih sepuluh jam seminggu, menurut proposal susunan Sandyo ini, mereka bisa mendapatkan investasi balik sekitar dua ratus hingga lima ratus ribu per bulannya, dengan menjadi konsultan belajar bagi siswa SMP sekaligus membuka sanggar baca dan dongeng bagi para bocah di bawah 10 tahun, tampak sangat menarik di mata Aisyah. Apalagi Sandyo sangat rinci menulis semua keperluan yang perlu dibeli untuk kepentingan usaha ini.

“Kenapa kau mengajakku?” Aisyah bertanya, sebelum menamatkan membaca proposal pria muda yang agak peragu ini. Ia menggeser duduknya untuk menambah kenyamanan.

“Kau punya uang. Kau juga punya kemampuan yang kuincar. Aku butuh keduanya; aku butuh uangmu untuk modal, dan kau berpotensi jadi guru,” jawabnya lugas. “Aku tidak memaksamu, hanya saja, kupikir ini akan menyenangkan bagimu. Kau ingin jadi psikolog kan? Siapa tau dengan jadi konsultan belajar, kau bisa belajar lebih banyak daripada mahasiswa-mahasiswa FISIP. Dan kau juga selalu menyukai dunia anak-anak. Sanggar baca dan mendongeng itu mengasyikan. Selain itu, kalau usaha ini berhasil, kita bisa mendapat sekitar dua ratus ribu per bulannya.”

“Tabunganku lagi sekarat, Dyo,” Aisyah bercerita. Tabungannya memang sekarat, sudah mencapai saldo yang paling rendah selama setahun terakhir. Tentu saja karena membayar rumah sakit Pan bulan lalu. “Tapi…. tapi nominalnya masih cukup untuk menyetujui proposalmu.” Aisyah melirik ke catatan kaki di halaman bawah proposal dan berpikir; kalau aku mau, aku bisa menanam 600 ribu rupiah, sedang Sandyo 400 ribu, dan dengan presentase untung atau rugi yang sebanding.

“Kalau begitu, apa yang kautunggu? Kau tinggal ikut saja, aku yang akan mengatur segalanya.”

Aisyah terdiam. Ia baru mengenal Sandyo tiga bulan ini, sejak naik kelas 2 SMA tanpa pernah benar-benar dekat. Sedangkan Sandyo mengenalnya lebih baik. Yah, sapa yang tidak kenal Aisyah si putri pengusaha mebel itu? Yang wataknya keras dan ulet, khas darah Batak yang mengalir di dirinya. Yang memberontak pada setengah guru SMA Mega Karya, yang senantiasa menulis opini sarkastik di berbagai media, yang menduduki peringkat pertama di kelas, dengan cara yang digosipkan ‘basah’.

“Aku… kurasa aku perlu memikirkannya lebih lama. Bagaimana kalau aku memutuskannya besok?”

Sandyo mengangkat bahu. “Yah, terserah kau. Lumayan, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk berdoa agar kau mau bergabung bersamaku. Kau penting bagiku, kau punya uang lebih banyak dari yang kupunya. Dan, aku bukan memanfaatkan uangmu; aku mengajakmu kerja sama–simbiosis mutualis. “

Aisyah rasa, satu hal yang dia sukai dari Sandyo adalah kelugasannya. Orang seperti Sandyo tidak munafik, tidak berpura-pura. Kekurangannya, ya, dia terlalu berlebihan ketika memuji orang lain–sifat ini kadang sangat mengganggu Aisyah.

“Ya, aku tau.” Aisyah menutup proposal Sandyo. “Boleh kubawa pulang dulu proposalnya?”

“Silakan. Selamat berpikir, semoga keputusanmu memihakku.”

https://i2.wp.com/dl10.glitter-graphics.net/pub/467/467980r81re9x9km.gif?w=615

Saya mau lanjutin potongan ini dalam waktu dekat.

Potongan lain tentang Aisyah pernah saya tulis dua tahun lalu di sini. Curcol dikit, saya punya beberapa ide cerita yang udah utuh dari awal sampe abis, dan udah saya bikin kerangkanya, tinggal tulis narasinya. Salah satu ide cerita yang udah berkerangka ya cerita tentang si Aisyah ini. Tapi narasinya baru saya bikin sekitar lima poin dari lima puluhan poin. Itupun tersebar di berbagai buku harian, dan yang bisa temen-temen baca ya baru yang ini dan yang itu

Dan saya juga nulis kisah lain, tentang perjalanan hidup seorang remaja sarkastik bernama Shafiyyah *promo link, biar ranking blog naik*

Ini satu poin dari kisah Shafiyyah yang udah pernah saya post sebelumnya, tentang diskusinya dengan seorang ateis, dibagi jadi tiga bagian:

Seorang Muslim dan Ateis 1
Seorang Muslim dan Ateis 2
Seorang Muslim dan Ateis 3