
Suatu hari, seorang anak muda bangun terlambat. Matahari sudah tinggi, dan di luar rumahnya sudah ramai suara orang-orang lalu lalang.
Anak muda itu duduk di sisi tempat tidurnya, mengusap wajah, dan menajamkan pendengaran. Tiba-tiba ia merasa janggal. Suara orang lalu lalang itu terdengar janggal; seakan ada begitu banyak orang berderap bersama-sama dengan tempo yang sangat cepat. Nyaris seperti gemuruh.
Anak muda itu melongok ke jendela. Benar saja, ada gerombolan orang, melimpah melampaui ramainya kawanan lebah yang terbang mengejar pengganggu mereka. Gerombolan ini berderap ke arah yang sama.
Anak muda itu bergegas keluar, mengikuti gerombolan orang yang berderap. Kakinya pincang satu, membuatnya ia terpatah-patah berusaha menyejajari langkah gerombolan ini.
Ia menghampiri gerombolan itu dan bertanya pada salah satu dari mereka, “Mau kemana orang-orang ini?”
Orang yang ditanya menjawab, “Ke sana.” Ia menunjuk ke arah entah berapa ratus orang yang sedang berderap di depannya. Lalu ia mempercepat langkahnya meninggalkan si anak muda. Si anak muda, yang belum puas akan jawaban orang tadi, mencegat orang lain untuk ditanya lagi. Ia bertanya sembari susah payah mengikuti derap cepat si orang ini.
“Mau kemana kamu?”
“Sana,” sahut orang itu terburu-buru sambil menuju ke depan, tanpa melihat ke arah si anak muda. Ia menunjuk arah kemana gerombolan ini berderap, sama seperti orang sebelumnya. Tanpa menunggu respon lagi, ia mempercepat jalannya. Si anak muda yang ditinggalkan merasa makin bingung.
Ia mencoba bertanya pada beberapa orang lain dalam gerombolan yang bergerak begitu terburu-buru, tetapi orang-orang itu tidak memberinya jawaban memuaskan. Semua hanya menjawab “ke sana,” sembari menunjuk arah derap gerombolan ini–arah yang si anak muda sendiri ini tidak tahu kemana.
Ia bertanya pada satu orang lagi, kali ini mencoba mengganti pertanyaannya.
“Orang-orang ini kenapa?”
“Tidak apa-apa,” sahut orang yang ditanya, cepat-cepat. Lalu kembali berjalan buru-buru mengikuti gerombolan itu.
Ia mencegat beberapa orang lagi dengan mencengkram lengan mereka, tapi rupanya ia cukup lemah untuk ditepis orang-orang itu.
“Maaf, Anak Muda, tapi aku sedang tergesa-gesa.”
“Minggir, Sobat, jangan halangi aku. Aku sedang bergegas.”
“Permisi, aku tidak punya waktu. Kau cari tahulah sendiri.”
Frustasi, anak muda itu memutuskan untuk latah mengikuti gerombolan yang tidak habis-habis ini, meski belum tahu gerombolan ini mengarah kemana. Setidaknya, dengan mengikuti, ia akan tahu.
Orang-orang ini bergerak cepat sekali, anak muda ini tetap tertinggal meskipun ia sudah memburu-buru dirinya. Orang-orang menyalipnya, lalu orang-orang yang tadinya berada di belakang menyalipnya, lalu terus begitu. Ia heran, gerombolan ini tak habis-habis. Ia merasa baru berjalan seperlemparan batu, sementara sudah ada ratusan orang yang menyalipnya dengan derap mereka yang tergesa-gesa, empat-lima kali lebih cepat dari kecepatannya berjalan.
Putus asa dan penasaran tak tertahankan, sang anak muda kembali mencegat satu orang dalam gerombolan itu.
“Aku tidak mengerti,” kata si anak muda frustasi, “Kemana kamu akan pergi? Kenapa kamu berada di gerombolan yang sangat besar ini? Apa yang kalian tuju?”
Tidak seperti orang-orang yang ia cegat sebelumnya, orang ini benar-benar berhenti, berdiri, dan menghadap penuh ke si anak muda. Alih-alih menjawab, ia diam dan memperhatikan si anak muda lamat-lamat.
“Kamu pincang,” orang itu memandang kaki si anak muda yang mengkerut sebelah, lalu memandang lengannya yang mengapit kruk.
“Iya,” sahut si anak muda, “Itu membuatku jadi makin sulit mengejar kalian. Jadi, bagaimana? Kemana kalian mengarah?”