Tertinggal [Cerpen] [2/2]

Tertinggal [Cerpen] [2/2]

Gambar: AI-generated dengan Adobe Firefly

Lanjutan dari Tertinggal [Cerpen] [1/2]

“Iya,” sahut si anak muda, “Itu membuatku jadi makin sulit mengejar kalian. Jadi, bagaimana? Kemana kalian mengarah?”

Orang itu kembali menoleh ke depan tanpa menjawab. Kemudian berderap lagi, nyaris berlari, mengikuti gerombolan, meninggalkan si anak muda. Anak muda itu menghela napas panjang tiga kali untuk meredakan frustasinya, kemudian ia memutuskan untuk mengikuti saja kemana gerombolan ini mengarah. Rasa penasarannya bisa menunggu, mungkin nanti akan terpuaskan jika gerombolan ini sudah sampai di tujuannya. 

Malangnya, kaki pincangnya membuatnya tertatih dan merasa sangat lelah, sementara arus orang-orang ini belum habis-habis dan mereka semua tampak begitu ambisius untuk melangkah maju. Tidak satupun yang terlihat kuyu, meski matahari sudah makin tinggi dan terik, dan setidak-tidaknya ia sudah berada dalam gerombolan ini selama empat jam. 

Si anak muda menyerah, ia tidak sanggup lagi mengikuti gerombolan ini. Ia minggir ke tepi jalan, duduk dan melonjorkan kaki. Sembari mengutuk kaki pincangnya dan teriknya matahari, si anak muda mengusap peluh dan menonton gerombolan itu.

Beberapa jam kemudian, kepadatan gerombolan itu berkurang perlahan, lalu, pelan-pelan, habis. Ia bingung, haruskah ia tetap diam di tempatnya atau mencoba menyusul gerombolan yang kini sudah tidak nampak.

Tiba-tiba, ia mendengar salak anjing sayup-sayup dari arah belakang. Ia menimbang-nimbang sesaat, apa lebih baik ia mengejar gerombolan itu—yang derapnya terlalu cepat untuk ia susul—ataukah berjalan ke arah berlawanan untuk menghampiri salak anjing itu.

 Sebelum ia sempat memutuskan, salak anjing itu makin dekat, dan dalam sesaat, di sebelahnya berdiri seekor anjing. Bukan anjing yang gagah atau cantik, melainkan anjing lusuh yang punya beberapa bekas luka di badannya. Mungkin habis berkelahi. Atau dilempari orang-orang. 

Si anak muda menatap si anjing dengan curiga, tetapi si anjing malah menatapnya balik dengan riang, lalu menghampirinya. Sang pemuda mundur menghindar.

“Hei Anjing, cari apa kau di sini? Aku tidak punya makanan, tidak punya waktu untuk bermain-main juga. Pergilah, aku bukan orang yang suka memperhatikan binatang,” si pemuda bicara pada si anjing.

Si anjing menyahut dengan gonggongan senang. Binatang itu menggoyang-goyangkan ekornya.

“Tidak, aku tidak bermain-main dengan hewan,” kata si anak muda, mendorong si anjing supaya tidak lagi mendekat. 

“Hei, Sayangku.” 

Terdengar suara serak dari arah belakang. Sang pemuda menoleh, dan melihat seorang perempuan berdiri. Pakaiannya sederhana, cenderung lusuh. Rambutnya kelabu, wajahnya sarat oleh keriput dan senyum cerah. Jelas ia sudah lewat usia paruh baya, tetapi air muka ceria dan tegap tubuhnya menguarkan aura ramah.

Si anjing ikut menoleh ke arah perempuan tua, lalu berlari riang menghampiri. Sang perempuan tua tertawa.

“Sayangku, sayangku,” katanya sambil mengelus-ngelus kepala si anjing.

Sang pemuda mendekat. “Oh, jadi kau kenal anjing ini? Ia tadi mendekatiku…. Seperti mau ajak main. Ini anjingmu?”

“Ah ya, aku mengenalnya baik, baik sekali,” jawab si perempuan tua. “Anjing ini kawanku. Lihat!”

Sang perempuan tua melempar tongkat pendek beberapa meter ke depan, dan si anjing mengejarnya dengan salak riang.

Si anak muda, yang sebenarnya tidak tertarik, tetapi demi kesopanan pada perempuan tua ini, mengangguk dan menggumam pelan, “Ya, ya, bagus.”

Tiba-tiba si anak muda terpikir, bagaimana kalau ia bertanya pada perempuan ini perihal gerombolan tadi? Mungkin ia tahu. Perempuan itu tampaknya mengenal tempat ini lebih lama dan lebih baik dari dirinya.

“Hei, aku mau tanya sesuatu. Kamu lihat gerombolan dengan banyak sekali orang, berderap cepat dan tidak berhenti-berhenti, menuju arah sana?”

“Ah ya, tentu saja aku lihat.”

“Kamu tahu mereka ke mana?”

“Ke sana,” ia menunjuk arah ke mana gerombolan tadi menuju. Jawaban yang sama dengan orang-orang yang ia tanya sebelumnya. Namun kali ini, si anak muda tidak merasa frustasi. Perempuan ini tidak kemana-mana, dan tampak senang ditanyai. Tidak seperti orang-orang tadi yang bergegas meninggalkannya dan jengah dengan pertanyaannya.

“Ada apa di sana?” ia bertanya lagi.

“Kesejahteraan, kata mereka. Panjang umur, makan enak, tidur nyenyak, merasa aman… hal-hal seperti itu,” si perempuan menjawab sambil menerima tongkat yang diberikan si anjing, dan melemparnya lagi ke arah yang berbeda. Si anjing mengejarnya sambil menyalak riang.

“Kamu tidak ikut?”

Perempuan tua itu menggeleng dan terkekeh. “Tidak, aku di sini saja. Kamu juga tidak ikut.”

“Aku sudah mencoba mengikuti mereka, tapi gagal. Tungkaiku melawan keinginanku,” ia melirik kaki pincangnya. “Kenapa kamu tidak ikut? Kamu tidak ingin mengejar kesejahteraan juga seperti mereka?”

Perempuan tua itu terkekeh dan menggeleng. “Tidak, tidak, terima kasih. Itu bukan tujuanku.” 

“Kamu tidak ingin jadi sejahtera? Lalu apa tujuanmu?”

“Tujuanku? Tujuanku adalah menikmati hari bersama anjing ini, kesayanganku. Main lempar tongkat seperti ini menyenangkan buat kami berdua.”

“Selain itu?” 

“Jalan-jalan tiap pagi dan sore. Ia suka berkeliling di sekitar sini.”

“Bukan, maksudku bukan itu. Apakah kamu bakal panjang umur? Apakah kamu sudah makan enak? Tidur cukup nyenyak? Tidak perlu takut akan apapun? Apakah kamu sudah punya itu semua?”

Sang perempuan tampak berpikir sesaat. “Tidak semua, dan kukira aku memang tidak perlu hal-hal seperti itu. Keinginanku hanya berputar-putar di sini saja dengan anjingku ini.”

“Apakah kamu kesepian? Kalau kamu ikut gerombolan tadi, kamu akan punya banyak teman, kan? Bukankah semakin banyak teman akan semakin menyenangkan?”

Perempuan tua itu tampak berpikir sebentar. “Tidak, aku tidak kesepian. Aku suka orang-orang, tetapi tampaknya mereka tidak menyukaiku. Tetapi itu tidak masalah. Satu anjing yang menyukaiku pun sudah bisa membuatku merasa penuh.”

“Tapi ia hanya anjing. Tidak bisa diajak berbincang atau minum kopi bersama.”

“Memang,” perempuan tua itu mengiyakan dengan ceria. “Tapi aku tetap bisa menikmati bercerita padanya tentang apapun, dan aku juga bisa menikmati minum kopi sendirian. Tidak masalah.”

Sang pemuda mengangguk sebagai respon. 

Si anjing kembali lagi dengan tongkatnya, menaruhnya tepat di depan kaki perempuan tua itu, lalu berlari sendiri ke arah tempat mereka datang.

“Wah, sayangku mau pulang ternyata. Aku harus pergi, Anak Muda. Senang bicara denganmu,” kata sang perempuan tua sambil memungut tongkat, lalu berjalan pergi.

“Hei,” panggil si anak muda, selagi si perempuan tua masih dalam jarak dengar. “Aku jadi kasihan, karena kamu begitu sendirian dan tidak punya teman.”

Si perempuan menoleh dan tersenyum. “Kamu tidak perlu mengasihani orang yang berjalan sendirian,” katanya sambil tersenyum. “Alih-alih, kasihanilah mereka yang berjalan bersama tapi saling menjegal.”

Kasih tanggapan dong!