Tiga tahun berada di pers mahasiswa, salah satu kesibukan yang pernah jadi prioritas.
Aku senang sekali berada di persma. Terutama karena bisa mengamati bagaimana pers—khususnya para reporter—bergerak. Hal-hal apa yang membuat mereka tertarik, bagaimana cara mereka memandang hal-hal tersebut, apa saja yang mereka catat, bagaimana mereka mengolahnya menjadi liputan yang bisa dikonsumis publik. Dan yang terpenting: bagaimana mereka menyetir opini publik. Memang, mereka punya tanggungjawab untuk netral dan tidak subjektif, tapi apa sih tidak subjektif itu? Kami, yang secara mayoritas punya identitas sama sebagai mahasiswa sosial domisili Jakarta, pasti cenderung memandang sesuatu dari sudut yang sama. Dalam kata lain: dari subjektivitas yang sama.
Kemudian, berada di antara mereka membuka banyak peluang besar bagiku. Entah itu ke undangan acara menarik, pekerjaan, atau bahkan berita langsung. Juga diskusi-diskusi panas. Kami terdiri dari mahasiswa berbagai disiplin ilmu, sehingga diskusi di sini cenderung lebih kaya dibanding diskusi yang kudapatkan di tempat lain.
Untuk Prita, berada di persma sejak 2014 hingga akhir 2017 bukan hal yang terus-terusan menyenangkan. Bukan pula gairah. Bukan pula kontribusi yang dipantik ketertarikan. Melainkan karena butuh, setengah mati butuh berada di sini. Untuk tahu bagaimana media bisa jadi begitu busuk. Untuk tahu bagaimana cara jurnalis bersilat lidah. Untuk tahu bagaimana fakta bisa begitu beragam dan berbeda seperti lensa di mata lalat. Untuk tahu dan sadar, bahwa mata dan benak ini belum cukup luas jangkauannya.
Tapi, yang paling utama dari semuanya adalah orang-orang yang kukenal di sini.
Orang-orang yang menyalakan akar-akar keingintahuan. Orang-orang yang memaksa agar aku tidak melulu mandi di kubangan yang sama. Orang-orang yang masih segar untuk berdiskusi hingga larut di pojok Pusgiwa selepas penat kuliah. Aku mencatat nama mereka satu-satu, merawat ingatan bahwa mereka sungguh mengambil peran dalam proses aku melebarkan jangkauan benak.
Aku bersyukur bisa berada di sini. Aku bersyukur akan mereka. Amat sangat.
Maret selalu jadi bulan dimana Semesta meluapkan aneka warna di hari-hari. Tahun ini aku ingin merayakan Maret dengan maraton menulis syukur, satu post tiap hari.