Surat buat Kak Mira (cerpen) | Nov 15, ’09 4:45 PM untuk semuanya |
Sepertinya siang ini Andine tak menikmati makan siangnya. Ia tampak terburu-buru, hingga tersedak 2 kali.
Entah kenapa, sehabis makan Andine buru-buru masuk kamar, padahal baru jam 2 kurang. Biasanya jam-jam segini ia asyik di depan TV, baru ia beristirahat di kamar jam setengah tiga.
Ia menutup pintu kamar dengan cara mendobrak. Lalu menguncinya, menutup jendela. Memang, Andine mau ngapain sampai harus menutup pintu dan jendela segala?
Setelah Andine memastikan tak akan ada yang mengganggunya di kamar, ia mulai membuka map koleksi kertas suratnya. Ada puluhan jenis kertas surat disana. Setiap jenis, rata-rata berisi 10-12 lembar.
Ia memilih yang paling indah dan cocok menurutnya, kertas wangi bedak biru muda dengan motif hati warna warni semi-transparan yang bertebaran di kolom untuk menulisnya, dan garis menulis yang bergerigi, dan dengan gambar seorang peri bergaun indah sedang duduk di bantal hati besar.
Lalu ia mencari tempat pensilnya. Diambil sebuah pulpen gel biru tua, yang garisnya tipis sekali, namun nyatanya jelas, terang, tapi tak tembus, pulpen paling berharga yang Andine miliki. Harganya saja mencapai ratusan ribu rupiah, kenang-kenangan mendiang Ayah Andine.
Perlahan dia menulis:
Maafin Andine, Kak Mira. Kemarin Andine ngak nggak sengja nyenggol vasbunga kenang kenangan mendiang ibu Kakak. Maafin Andine. Ayah juga nggak marah, Kak. Kakak mau maafin Andine, kan?
Ia membaca ulang surat itu. Tampaknya tak terlalu ramah. Maka ia meremas kertas itu dan melemparnya ke tempat kecil di samping meja belajarnya. Ia mengambil selembar kertas bermotif sama dari map tempat koleksi kertas suratnya, dan mulai menulis.
Assalamu’alaikum, Kak Mira,
Andine sebernernya pingin langsung bilang ke Kakak, tapi sayang kita jarang ketemu… Kakak baru punya waktu luang sirumah saat Andine sekolah. Dan saat Andine punya waktu luang, Kakak sibuk kuliah dan kerja. Maka Andine putusin, Andine bakal ngomong lewat surat aja, ya, Kak.
Setelah merasa pembukaan dan penjabaran awalnya tak bermasalah, Andine melanjutkan menulis di paragraf baru.
Mungkin Kakak masih marah sama Andine gara-gara Andine nyenggol vas bunga mendiang ibu Kakak dan pecah. Andine nggak sengaja, Kak. Andine nggak bermaksud bikin Ayah atau Kakak marah. Beneran. Andine minta maaf, ya, Kak.
Ia menulis seperti itu karena Kak Mira dan Ayah adalah orang baru di rumahnya. Dua minggu lalu, Ibu Andine yang menjanda menikah dengan Ayah Kak Mira. Nah, vas bunga itu salah satu kenang-kenangan dari mendiang ibu Kak Mira. Jadi ketika Andine tak sengaja memecahkannya, Kak Mira marah. Dikiranya dia sengaja merusak vas itu karena dia tidak suka dengan keberadaan Ayah dan Kak Mira. Nah, sekarang Andine hanya ingin menghapus prasangka jelek Kak Mira kepadanya. Kalau Ayah sih… Ayah masih mau memaklumi kalo itu kecerobohan Andine, bukan kesengajaannya.
Ia meraih pulpen lagi, mulai menulis kalimat terakhir.
Kakak mau maafin Andine, kan? Andine tau Andine salah, tapi… Itu 100 % kecerobohan, bukan kesengajaan! Andine minta maaf, Kak. Andine seneng, kok, kalau di rumah Ibu ada Kakak sama Ayah.
Maafin Andine, ya, Kak.
Wassalamu’alaikum
Dari yang menunggu maafmu,
Andine
Surat itu sudah selesai. Kata-katanya ramah dan tampak tidak memaksa. Bahasanya sopan. Kertas suratnya cocok diberikan kekpada remaja seperti Kak Mira. Tapi… tulisan Andine masih agak berantakan dan penuh coretan. Sebaiknya, kusalin di kertas surat baru bermotif sama, soalnya tulisanku ini terlalu acak-acakan, pikir Andine. Ia mengambil selembar lagi kertas surat dengan motif yang sama, tetap gambar hati warna warni semi-transparan yang bertaburan di kolom menulisnya, garis menulis yang bergerigi, gambar peri di pojok, dan wangi bedak. Sambil menyalin surat, Andine menyesali kekeliruannya. Seandainya tadi kubuat di kertas coretan dulu, baru kusalin di kertas surat. Bukan kayak begini… Kan jadi habis 3 lembar. Besok-besok jangan begini lagi, tekad Andine dalam hati.
Selesai menulis, Andine bersiap menyelinap ke kamar Kak Mira, sebelum dia pulang. Terkadang, Kak Mira memang ada di rumah sekitar jam 3-an, tapi hanya sekitar 10-15 menit di rumah, dan setelah itu pergi lagi.
Andine membuka pintu kamar. Kamarnya dan kamar Kak Mira bersebrangan, di tengah ruang keluarga. Untuk sekarang sepi. Ibu sedang menjahit di kamarnya. Ibu memang berprofesi sebagai penjahit.
Jadi mudah saja, Andine masuk ke kamar Kak Mira yang tak terkunci, dan meletakkan surat beramplop kehijauan itu di meja rias Kak Mira, diantara botol parfum dan salep.
Tapi… Aduh… Perut Andine—tiba-tiba—merasa sangat sakit. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi.
Setelah 10 menitan, barulah Andine keluar kamar mandi. Perutnya mendingan, walau masih terasa sakit. Jadi untuk menetralisir rasa sakit itu, ia memutuskan untuk tidur.
Sebelum tidur, ia menyempatkan bertanya pada Mbak Echa yang kebetulan mau menyapu ruang keluarga.
“Mbak, tadi Kak Mira udah pulang, belum?” tanya Andine.
“Mbak Mira? Eh, udah tadi, tapi langsung pergi lagi, tadi dia nyariin kamu,” jawab Mbak Echa.
“Nyariin aku? Masa sih?” Andine bertanya ragu.
“Iya, Mbak juga bingung. Tapi tadi dia masuk kamar kamu, padahal Mbak udah bilang sama dia kalo kamu di kamar mandi. Eh, dia malah masuk kamarmu, entah ngapain. Mbak pikir mau ngambil barangnya dia yang kamu pinjem. Abis itu, dia ke kamarnya, nggak tau ngapain. Kayaknya cuma naruh tasnya aja. Setelah itu dia keluar rumah lagi, Mbak nggak tau kemana. Tapi dia nggak bawa motor, nggak bawa tas, dan Cuma pake sandal jepit doang. Emang kenapa kamu nanya gitu?” Mbak Echa ramah bertanya balik.
“Enggak kok, pingin tau aja. Ya udah, deh, makasih, ya!” Andine langsung berlari ke kamar. Menghempaskan diri di tempat tidur. Ah… perutnya makin sakit sekarang. Ketika ia mau memejamkan mata, ia merasa meniduri sesuatu.
Amplop! desis Andine dalam hati. Hatinya berdebar ketika membaca nama di amplop ungu wangi itu, yang tampak asing bagi Andine. Untuk Andine, dari Kak Mira, ia membaca tulisan itu dalam hati. Tiba-tiba sakit perutnya hilang. Segera ia membuka amplop itu.
Tampak selembar kertas biru wangi melati berhiaskan gambar semi-transparan dua gadis berpelukan, dibelakang tulisan mungil nan rapi Kak Mira.
Assalamu’alaikum Andine
Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi karena aku nggak punya banyak waktu, aku langsung aja, deh. Temui aku di Taman Tiga Batu, sore ini, jam 3. Aku akan ada disana. Cepatlah. Kutunggu, sebab jam setengah empat aku harus pergi lagi. Terima kasih sebelumnya.
Yang menunggu kedatanganmu,
Mira
Sekarang hampir jam 3!!!
Sebelum Kak Mira menunggu terlalu lama, Andine segera menyambar sepedanya dan mengayuhnya ke Taman Tiga Batu, sesuai yang diperintahkan kakak tirinya.
Meski tak tau kenapa, Andine tetap menuju kesana. Kira-kira Kak Mira mau ngapain? Apa mau marahin dia? Atau meneriakinya di Taman Tiga Batu yang cukup ramai hingga semua perhatian terpusat kepadanya? Ataukah sebaliknya, merangkul Andine dan menyatakan betapa Kak Mira ingin memiliki adik seperti dirinya? Itu impiannya, sungguh.
Tapi, apapun pendapat yang melintas di benaknya, Andine mencoba berpikir positif dengan mengambil satu persepsi; Kak Mira akan mengajaknya makan es krim Paddle Pop di taman, dan mereka akan bermain-main. Dengan inti, mereka akan berbaikan. Suasana tak aakan kaku lagi. Pikiran itu membuat Andine tak ragu menuju taman.
Taman Tiga Batu, 15.05
Dari kejauhan, Andine melihat sesosok gadis remaja sedang duduk di bangku Taman Tiga Batu. Hari ini lumayan sepi, pikir Andine begitu melihat di taman tiga batu hanya ada beberapa orang.
Andine mendekati gadis remaja itu. Kak Mira, ya, itulah di gadis. Rupanya Kak Mira belum menyadari kedatangannya. Dari kejauahan, Andine dapat melihat Kak Mira sedang membuka amplop kehijauan yang sangat Andine kenal… Amplop berisi surat yang ia letakkan di meja rias Kak Mira tadi!
Kak Mira akan membaca suratnya!
Andine menunggu beberapa saat hingga Kak Mira selesai membaca. Lalu ia mulai berani memasuki pagar Taman Tiga Batu.
“Kak…” panggilnya lirih, tapi jelas. Kak Mira mengangkat kepalanya. Andine bingung, harus tersenyumkah ia? Bagaimana kalau Kak Mira marah?
Tapi Kak Mira tersenyum. Selama ini, tak pernah Kak Mira tersenyum kepadanya.
“Sini, duduk,” panggil Kak Mira, mempersilakan Andine duduk di sebelahnya. Andine mendekat canggung. Kak Mira tersenyum ramah.
“Aku sudah baca suratmu. Terimakasih,” kata Kak Mira. Andine diam, merasa canggung mau ngomong apa dan apa yang harus di lakukan.
“Aku suka kertas suratmu,” komentarnya, “Wangi dan motifnya lucu.”
“Soal isinya…” Kak Mira mendesah. Hati Andine berdegup kencang.
“Maafkan aku,” pinta Kak Mira, rada nggak nyambung.
“Eh, apa? Maafkan… Maafkan Kakak?” tanya Andine, setelah lama terdiam.
“Ya. Selama ini akulah yang salah, bukan kamu. Dan aku… aku ingin cerita sesuatu. Tolong dengarkan. Dulu, sebelum ibuku—“
“Tunggu,” potong Andine, “Sebelum aku mendengarkannya, tolong maafkan aku juga.”
“Itu pasti,” Kak Mira tersenyum sendu, “Kan aku yang salah, bukan kamu.”
Andine tersenyum mendengarnya.
“Sebelum ibuku meninggal, tiga tahun lalu, aku punya adik, mungkin jika dia masih hisup dia sudah seusia kamu. Aku sangat menyayanginya. Dia lucu cantik, berambut ikal, bulu matanya lentik, kulitnya langsat… Sangat mitip sepertimu, Andine. Jadi ketika pertama kali Ayah mengenalkanku padamu… seketika aku teringat Mely, adikku. Dulu, adik dan ibuku pergi bermobil malam-malam, sepulang dari acara kantor ibu. Adikku diajak, ia mau ikut. Sedangkan Ayah saat itu baru pulang dari luar kota, jadi tak bisa mengantarkan mereka ke acara itu. Dan mungkin, karena jalanan licin, soalnya malam itu memang hujan. Ya, ibu yang baru belajar mobil terpelanting dan mereka…”
Kak Mira mendesah. Menutup matanya. Menggigit bibirnya, menahan tangis.
“Kak…” panggil Andine lirih. “Sama. Ibu dan kakakkujuga tewas di kecelakaan mobil, tabrakan. Kakakku mirip dengan Kakak. Berambut lurus, bermata sipit, bibirnya tipis kemerahan… Semuanya hampir sama, Kakak.”
“Ketika aku melihat kamu, aku teringat lagi pada Mely. Padahal aku sudah berusaha melupakannya. Aku sedih kalau mengingat dia… Tapi aku mengenal kamu. Aku jadi benci padamu, karena kenapa? Karena kamu mengingatkan aku lagi pada Mely. Padahal aku sudah berusaha melupakannya, hampir berhasil. Tapi aku ketemu kamu… Aku tau, aku memang egois. Menyalahkan dirimu diatas semua kebenaran. Padahal itu semua bukan salahmu… Maafkan aku. Sekarang aku menyadari, melupakan Mely dan membencimu tak ada gunanya. Sekarang kamu adik tiriku, tapi tolong jadilah seperti adik kandungku. Aku akan menganggap kau Mely. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakak kandungmu itu. Mulai sekarang, kita bersaudara. Oke?”
“Bukan mulai sekarang, tapi dari kemarin. Dari kemarin status kita kan sudah saudara—saudara tiri. Tapi kita saja yang tak menganggap. Dan yang benar, sekarang kita benar-benar bersaudara. Oke?” ralat Andine.
“Oke!” Kak Mira tertawa. “Adik pintar!” pujinya. Andine tertawa. Tiba-tiba Kak Mira teringat sesuatu.
“Oh ya… Aku ada kerjaan sore ini. Temanku menitipkan sebuah toko padaku untuk dijaga. Ia tak bisa menjaga toko itu sekarang, maka ia mau ikut. Toko sederhana, sih, cuma kios buku di salah satu mall. Bukunya buku anak-anak, seru-seru. Aku harus kesana sore ini. Mau ikut?” tawar Kak Mira.
“Pasti!” sambut Andine.
Sepasang saudara tiri itu bergandengan tangan menuju rumah untuk merapikan diri. Setelah itu… Tentu saja jalan-jalan membantu Kak Mira menjaga toko!
|
Dilihat 11 kali oleh 7 orang, terkini on Sep 20, ’10