Guru-guru
di sini, menurut saya, gak sebaik dan seprofesional guru-guru SMP saya. Tapi saya bersyukur banget, kelas saya tahun lalu, X-Multimedia, dapet guru-guru yang lumayan.
Misalnya, sebut saja dia Bu Cha. Beliau guru Seni Tari. Saya samasekali gak suka nari, jadi bersyukur dapet guru yang bagus kayak Bu Cha, karena dengan begini saya jadi nggak ‘ogah banget’ ama mata pelajaran ini. Saya agak menyayangkan karena Bu Cha ngajar Seni Tari, mata pelajaran yang nggak terlalu dilirik di rapor. Kalau Bu Cha mengajar IPA, Fisika, IPS, Bahasa–mata pelajaran penting–pasti menyenangkan.
Bu Cha, beliau guru muda. Masih energik dan cantik. Berbeda dengan guru muda lainnya yang biasanya ‘penuh toleran’, Bu Cha tegas. Beda dengan guru muda lainnya yang biasanya berkompeten tingkat ‘junior’, Bu Cha mengajar dengan profesional. Yah, setidaknya bagi saya. Berbeda dengan guru muda lainnya yang biasanya kami anggap ‘sederajat’ dengan kami para murid, Bu Cha kami segani.
Yang sangat saya suka dari Bu Cha, beliau adil. Nggak banyak guru di sekolah ini yang menilai jawaban ulangan esai kami dengan teliti dan memberi poin yang sesuai dengan apa yang kami tulis. Di sini, jarang guru yang benar-benar menghargai objektivitas dalam menjawab soal esai. Kebanyakan mereka hanya menghargai kesesuaian jawaban dengan kalimat yang tertera di buku teks, tanpa menghargai pendapat dan idealisme yang ditulis si anak di esainya.
Beliau juga nggak seperti kebanyakan guru yang menganggap mata pelajarannya paling penting di antara pelajaran lain. Bu Cha tau tiap anak punya versi ‘pelajaran terpenting’ masing-masing, terlebih ini kan sekolah kejuruan. Satu kata untuk menggambarkan beliau: bijaksana. Beliau tidak meremehkan anak-anak yang nilainya rendah, mungkin karena seorang seperti Bu Cha paham sekali kalau masing-masing anak punya kemampuan masing-masing, dan bukan Seni Tari-lah yang jadi kemampuan si anak. Begitu pula dengan prakteknya. Bu Cha tidak menspesialkan mereka yang gemulai menari dan tidak meremehkan mereka yang kaku. Saya termasuk yang kaku, dan Bu Cha–saya salut sekali–sabar banget ngajarin saya. Beliau sangat disegani anak-anak. Ini guru terbaik ketiga yang mengajar saya di skeolah ini.
Guru lainnya, Bu Lis. Guru matematika. Matematika itu mata pelajaran yang rumit. Saya nggak pernah mau bersahabat sama angka, eksponen, variabel, dan makhluk-makhluk semacam itu. Menurut saya, butuh kesabaran, ketelitian, dan ke-super-an (yang ini ngaco nih) buat menjadi seorang guru matematik. Terlebih, guru matematik yang baik. Seperti Bu Lis. Beliau ngajar dengan jelas, pelan, dan bersedia mengulang penjelasan kalau ada murid yang meminta. Dan sistem mengajarnya, saya suka. Beliau tau matematika bukan objek yang cocok untuk dijadikan sahabat, dan sangat-amat membosankan kalau kelas matematika berlalu hanya dengan menjawab soal dan maju ke depan untuk menyelesaikannya. Karena itu, sesekali beliau mengadakan kuis dan permainan.
Selain itu, beliau sangat mengutamakan kekompakan. Kami selalu dibagi jadi kelompok-kelompok acak, yang tiap anggotanya bertanggung-jawab satu sama lain. Kalau ada satu anggota yang nilainya belum mencapai standar, nilai anggota lainnya ditahan hingga anggota itu lulus remedial. Jadi anggota yang ‘lebih’ harus selalu membantu anggota yang ‘kurang’. Itu sistem yang bagus, menurut saya. Dengan sistem kayak gitu, tujuannya adalah: semua anak punya tingkat kepinteran yang sama dan semangat saling bantu.
“Kelas 2 nanti, guru kalian bukan Ibu lagi. Tapi kalo kamu nanti ada kesulitan atau mau ketemu Ibu, Ibu ada di sini, silakan kalian temui. Ibu selalu siap bantu kamu.”
-Bu Lis, di jam matematika terakhir kami semester lalu.
Guru terakhir, guru mata produktif. Pak Nd, sebut begitu. Beliau mengajar seni grafis, satu dari beberapa mata pelajaran kejuruan. Seperti kebanyakan penampilan orang seni yang berantakan dan cuek, begitulah Pak Nd tampil. Dengan rambut acak-acakan, kemeja pendek, kadang datang ke kelas sambil menenteng helm, kadang juga terlihat memakai sandal. Kadang berjalan dengan langkah diseret. Beliau masih muda. Di sekolah, beliau bisa ditemui di labolatorium multimedia. Atau kalau beliau tidak ada di sana, berarti beliau sedang di mushola. Hanya di dua tempat itu saya biasa Pak Nd berada.
Cara mengajar Pak Nd, benar-benar saya sukai. Beliau mengajar kelas kami 8 jam per minggu. Cara mengajar beliau efisien. Dengan cepat menerangkan dasar-dasarnya, lalu memberikan tugas yang terkesan super susah, membiarkan kami berpikir sendiri bagaimana cara menyelesaikannya dengan baik. Selain itu, Pak Nd juga seorang komentator yang baik. Komentarnya blak-blakan, kritis, dan profesional.
Setelah kami selesai menyelesaikan tugas desain, biasanya Pak Nd meminta kami untuk mempresentasikannya. Dan beliau akan mengomentari. Komentarnya tidak sekedar kata-kata semacam “Cukup bagus,” “Yang ini keren,” atau komentar pendek semacam itu, tapi komentar beliau kebanyakan lebih bernada kritik. Anak-anak bilang kritik beliau pedas, tapi bagi saya, kritik beliau memompa. Soalnya saya lebih senang dikritik daripada dipuji. Saya lemah pujian, jujur aja. Kalau dipuji saya akan terlena, tapi kalau saya dikritik atau bahkan dihina, itu malah cambuk yang memecut saya buat lari lebih kencang. Jadi saya sangat suka dengan cara mengajar Pak Nd.
Lebih dari itu, kritik Pak Nd terkadang ditambah solusi. Jadi kami tau bagaimana seharusnya kami memperbaiki kesalahan kami. Beliau juga terus-terusan menuntut alasan dari tiap inci desain kami, semisal: kenapa warnanya merah? Kenapa bentuknya melengkung? Kenapa miring? Kenapa teksnya kecil? Apa pesen yang bakal dibaca orang-orang dari desain kamu ini? Kami belajar mempunyai alasan atas setiap desain yang kami buat. Atau secara umum, kami belajar mempertanggung-jawabkan tiap-tiap kelakuan kami.
Dan itu tiga yang terbaik dari belasan guru yang mengajar saya di sini. Sekarang saya sudah kelas 2 (atau kami lebih familiar menyebutnya kelas 11), dengan guru-guru yang berbeda-beda. Sayangnya selama tiga bulan ini saya masih dalam masa magang, jadi belum sempet ngerasain gimana pelajaran kelas 11 dengan guru kelas 11 di sekolah. Semoga lebih baik.