Kau ada di sana, di barisan remaja dengan kemeja putih dan rok atau celana hitam rapi. Hampir yakin pada keputusanmu, yang kaupaksakan yakini sepanjang minggu ini. Kau melangkah sama tegapnya seperti belasan remaja lain, masuk ke aula berpendingin itu. Aula itu luas, berlangit-langit tinggi, bersih, sejuk, dan nyaman. Tapi kau berpikir untuk segera pergi dari aula ini.
Kau duduk di kursi yang disediakan untukmu, berhadapan dengan seorang perempuan cantik dengan air muka ramah dan cerdas. Semua orang di sini tampak ramah dan cerdas. Kau menyukai mereka semua. Tapi ini bukan tempatmu, begitu kau meyakinkan diri.
Berhadapan dengan perempuan itu, yang kira-kira seusia dengan ibumu, kau menatap matanya dan tersenyum. Kalian berkenalan, perempuan itu bertanya sesuatu dan kau menjawab, kalian mengobrol sedikit sebagai pembuka, hingga ia bertanya.
“Kamu ingin ada di sini?“
Kamu tau kamu tidak boleh berbohong. Dan kalau pun boleh, kamu tidak mau. Sehingga kamu menjawabnya dengan gelengan.
“Saya sekarang sudah punya tempat. Orang-orang bilang tempat Anda ini lebih baik dari tempat saya sekarang, tapi saya tidak ingin di sini. Saya sudah punya tempat,” begitu kamu menjelaskan.
Lalu ia bertanya sesuatu dan kau menjawab, sedikit obrolan lagi, sebentar sekali, lalu ia mempersilakanmu keluar. Kalian saling melempar senyum.
Kau bangkit, berjalan ke arah pintu keluar, merasa bebas. Kau berjalan terus, tidak berkata sampai jumpa, tidak menoleh ke belakang, dan tidak menyesal.
Satu Rabu di Agustus 2014.
Bersyukurlah (lagi dan lagi), Tuhan memberimu banyak kesempatan!
Mungkin, eh ni mungkin lho ya, ‘si Kau’ punya cara sendiri untuk ‘menoleh ke belakang’ 🙂
Tebakan bagus! Si ‘kau’ memang menoleh dengan caranya yang agak berbeda.
Ngomong-ngomong, terima kasih udah berkunjung dan komen!
yang terjadi setelah pertemuan itu apa Mbak Prita? Saya jadi penasaran 😀