
(1)
Semesta pernah bilang, bahwa ia menggariskan kita untuk tenggelam. Mulanya, kupikir itu artinya Semesta akan menenggelamkan kita di danau atau palung yang sama, sehingga kita bisa menyelam sama-sama.
Tapi ternyata tidak. Semesta memang menenggelamkan kita di saat yang sama, tetapi di penjuru berbeda di samudra. Dan bernapas bagi kita jadi sesuatu yang mahasulit. Dan sayangnya, kita tidak bersisian untuk menguatkan. Lalu aku mengeluh pada Semesta. Tapi ia cuma bilang, “Jangan cengeng. Ini samudra, tidak punya pagar.”
Ya, betul juga. Aku tinggal mengapung dan berenang, menuju entah mana yang di sana ada kau. Ini samudra, tidak punya pagar.
(2)
Menyoal Juni.
Pulang terlambat, lagi-lagi.
Senja sudah menua menjadi malam. Masih ada hiruk pikuk di jalan, pinggirannya, dan teras masjid. Belum terlalu larut, sehingga aku tidak terlalu bergegas. Aku sering pulang lebih larut dari ini.
Kemudian, detik itu datang: sebuah sirobok. Yang kemudian mengulang pola yang sama, obrolan pendek yang kuusaikan dengan pamit lebih dulu.
Ya Tuhan, setelah berapa puluh purnama ini?
Kemudian pemahaman itu semakin kokoh: ini yang semesta gariskan untukmu.
(3)
Teman-temanku mengeluhkan orang-orang di hidup mereka yang pergi saat keadaan sulit. Sementara aku, mendapatkanmu yang malah datang di keadaan-keadaan sulit, untuk mengokohkan yang rapuh, kemudian pergi begitu tergesa sebelum aku sempat berterima kasih.
Kenapa begitu, berkali-kali?
(4)
Aku menyebut namamu berkali-kali dalam obrolanku dengan Tuhan. Kata-Nya, semesta akan menghilirmu ke muara yang aku tuju. Tidak dalam waktu dekat, memang. Tapi, kalau itu menyangkutmu, mana pernah aku mempermasalahkan masa?
(5)
Tuhan, terima kasih sudah membuat remah asa ini sintas selewat dekade.
Menerakan yang mustahil dilupa, melodi yang jangkauku tak pernah sampai: Re.